SEWAKTU.com - Malam itu, udara Malang terasa sejuk. Di tengah obrolan hangat di serambi pesantren, seorang kiai dengan nada lembut melontarkan gagasan yang kelak menjadi sejarah nasional.
Dialah KH Thoriq Darwis, pengasuh Pondok Pesantren Babussalam Malang, sosok yang pertama kali mengusulkan agar Indonesia memiliki Hari Santri.
Tahun 2014 menjadi saksi awal mula ide ini. Saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pesantren Babussalam, KH Thoriq menyampaikan usulan sederhana, “Pak, bagaimana jika 1 Muharram dijadikan Hari Santri, untuk menghargai perjuangan para pejuang agama di masa kemerdekaan?”
Baca Juga: Semangat Hari Santri 2025: Mengawal Indonesia Menuju Peradaban Dunia
Presiden Jokowi menanggapinya dengan senyum dan rasa hormat. Tak lama kemudian, pada malam Jumat, 27 Juni 2014, ia menandatangani komitmen dukungan terhadap gagasan tersebut.
Momen ini menandai awal perjalanan panjang menuju pengakuan resmi negara terhadap kontribusi santri bagi bangsa.
Dari Komitmen ke Keputusan Presiden
Butuh waktu setahun lebih hingga gagasan itu terealisasi secara hukum. Melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Tanggal ini dipilih untuk mengenang peristiwa monumental Resolusi Jihad 1945, seruan yang dikumandangkan oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Baca Juga: Sejarah Hari Santri Nasional: Jejak KH Thoriq Darwis Hingga Perjalanan Panjang Penetapan Hari Santri
Resolusi Jihad: Saat Seruan Ulama Menggetarkan Negeri
Menelusuri sejarahnya, Majalah Risalah NU edisi ke-118 menulis bahwa pada 21–22 Oktober 1945, ratusan ulama NU berkumpul di Surabaya. Dalam sidang itu, KH Hasyim Asy’ari memfatwakan bahwa melawan penjajah hukumnya fardhu ain, kewajiban pribadi bagi setiap Muslim.
Fatwa tersebut bukan sekadar ajakan spiritual, tetapi menjadi pemicu semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Bahkan, KH Hasyim menetapkan jarak 94 kilometer dari garis pertempuran sebagai batas wajib bagi umat Islam untuk ikut berjuang.