Dalam wawancara terakhirnya bersama Al Jazeera pada Januari lalu, Aljafarawi berkata lirih tapi tegas, “Saya hidup dalam ketakutan setiap detik, tapi saya tak bisa berhenti. Dunia harus tahu apa yang terjadi di Gaza.”
Kalimat itu kini menjadi epitaf yang menyayat hati. Ia tahu bahwa pekerjaannya berisiko, namun tetap memilih berada di garis depan demi menyampaikan kebenaran.
Selama 467 hari perang, ia menjadi saksi bisu penderitaan rakyat Gaza dari reruntuhan rumah, tangisan anak-anak, hingga harapan yang perlahan pudar.
Gaza, Kuburan bagi Para Jurnalis
Data dari organisasi media internasional mencatat, sejak Oktober 2023, lebih dari 270 jurnalis telah tewas di Gaza. Angka itu menjadikan konflik ini sebagai tragedi paling mematikan bagi insan pers dalam sejarah modern.
Baca Juga: Tren Gadget 2025, Dari Smartphone AI hingga Wearable Ajaib
Kini, nama Saleh Aljafarawi menambah daftar panjang para jurnalis yang gugur di garis api mereka yang tak hanya menulis berita, tapi juga menulis sejarah dengan darah dan keberanian.
Dunia Menatap Gaza Lagi
Sementara itu, upaya diplomasi masih berjalan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dijadwalkan menghadiri KTT Gaza di Sharm el-Sheikh pada Senin (13/10).
Pertemuan tersebut disebut-sebut akan menghasilkan dokumen perdamaian bersejarah, meski tanpa kehadiran perwakilan dari Israel maupun Hamas.
Namun, di lapangan, perdamaian masih terasa seperti ilusi. Gaza belum sepenuhnya tenang.
Kepergian Saleh Aljafarawi mengingatkan kita bahwa kebenaran sering kali lahir dari keberanian. Ia tak membawa senjata, hanya kamera dan keyakinan bahwa dunia berhak tahu apa yang terjadi.
Kini, dunia berduka, tapi juga berhutang. Karena selama ini, dari balik layar dan puing-puing, suara Aljafarawi-lah yang membuat dunia melihat Gaza bukan sekadar perang melainkan kehidupan yang terus bertahan.***