Pertanyaannya, apakah mungkin ada perdamaian yang benar-benar damai jika rasa takut belum ikut berhenti?
Baca Juga: Jurnalis Gaza Saleh Aljafarawi Gugur, Suara Kebenaran yang Terhenti di Tengah Debu Perang
Saleh, Jurnalis di Antara Puing dan Nyawa
Dalam wawancaranya bersama Al Jazeera pada Januari lalu, Saleh sempat berkata:
“Saya hidup dalam ketakutan setiap detik. Tapi kalau saya berhenti meliput, siapa yang akan menceritakan kisah kami?”
Ia bukan sekadar jurnalis. Ia adalah saksi mata yang menjembatani dunia dengan suara Gaza.
Ia tahu risikonya, tapi ia memilih untuk tetap memegang kamera bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mengabadikan kebenaran sebelum hilang ditelan propaganda.
Politik, Propaganda, dan Nyawa
Kematian Aljafarawi memperlihatkan rapuhnya infrastruktur politik di Gaza.
Gencatan senjata hanyalah jeda sementara; perang opini tetap berlangsung. Israel menuduh Hamas tidak sepenuhnya menghentikan operasi militer, sementara Hamas menuding Israel melanggar kesepakatan lewat operasi tersembunyi.
Dalam situasi ini, jurnalis menjadi target yang paling mudah disalahkan. Mereka dianggap “mata musuh”, padahal mereka hanya membawa kamera, bukan senjata.
Dan ketika peluru menembus rompi bertuliskan “PRESS”, dunia kembali diingatkan bahwa kebebasan pers tidak pernah gratis.
Baca Juga: Kronologi dan Fakta Lengkap Kematian Jurnalis Palestina di Tengah Gencatan Senjata Gaza
Dunia Mencari Perdamaian, Gaza Mencari Nafas
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dijadwalkan bertemu di KTT Gaza di Sharm el-Sheikh, Mesir, Senin (13/10).
Konferensi itu diharapkan menjadi momentum perdamaian. Tapi ironisnya, Israel dan Hamas tak mengirimkan perwakilan.