Saat itu, DN Aidit dan timnya berhasil menggeser arah PKI dari Rusia ke Republik Rakyat China (RCC).
Aidit mengerahkan anggota kader PKI untuk menyusup ke pihak lain, terutama pihak pesaing.
Aidit juga bekerja tanpa lelah untuk memantik amarah massa dan lawan politiknya dengan berbagai ide kontroversial.
Ia pernah mengatakan bahwa pernyataan retoris Panchasila tidak diperlukan lagi.
DN Aidit telah mengusulkan pembentukan unit kelima untuk mempersenjatai pekerja dan petani dengan senjata dari China.
Gerakan mempersenjatai kaum buruh dan tani tentu menjadi tantangan bagi lawan politik paling kuat PKI, Angkatan Darat.
Tak heran, pihak Angkatan Darat paling bersemangat menolak tawaran tersebut.
Gerakan 30 September pecah pada tahun 1965, dengan penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal angkatan darat.
Situasi menjadi kacau. Orang-orang saling menyalahkan, dan militer menyalahkan PKI karena berada di balik pembunuhan itu. Edith menyebut tragedi itu sebagai "konflik internal".
Tentara yang menguasai media massa dengan ketat akhirnya mampu mengarahkan opini publik bahwa gerakan tersebut telah ditolak oleh Aidit.
DN Aidit kemudian melarikan diri dari Jakarta ke Yogyakarta dan sekitaran Jawa Tengah.
Dia akhirnya ditangkap di Solo dan kemudian ditembak mati oleh pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Yasser Hadibrotto di suatu tempat di Jawa Tengah.
karir politik yang dibangun DN Aidit hancur setelah peristiwa G30S. Bahkan, hingga kini masih ada kontroversi terkait keterlibatannya secara langsung. Otak dari G30S sendiri masih belum sepenuhnya jelas.