Media Sosial: Antara Empati dan Eksploitasi
Media sosial sejatinya adalah ruang ekspresi, tapi sering kali berubah menjadi ruang penghakiman.
Kasus Julia Prastini memperlihatkan bagaimana netizen berperan ganda: sebagai penonton, jaksa, dan kadang, algojo.
Menurut pengamat media digital Andini Rahmawati, fenomena seperti ini muncul karena pola konsumsi berita yang semakin instan.
"Publik haus drama dan kecepatan. Kita lebih suka versi pendek dan emosional, daripada kebenaran yang memerlukan waktu,” jelasnya.
Baca Juga: Viral! Video Julia Prastini Diduga Bersama Pria Lain Bikin Heboh Media Sosial
Dampak Sosial: Normalisasi Gosip Digital
Fenomena Julia Prastini tidak berdiri sendiri. Kasus serupa pernah terjadi pada banyak figur publik lain, di mana masyarakat terlalu cepat menilai tanpa memeriksa konteks.
Menurut survei Digital Civility Index (2025), Indonesia termasuk negara dengan tingkat empati digital yang menurun banyak pengguna media sosial mengakui sering mengomentari isu pribadi figur publik tanpa mengetahui kebenarannya.
Artinya, setiap kali ada isu viral seperti ini, yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi seseorang, tapi juga kesehatan sosial digital kita sebagai bangsa.
Baca Juga: Di Balik Isu Perselingkuhan, Seperti Ini Kisah Panjang Julia Prastini yang Tak Dikenal Publik
Di Antara Dua Dunia
Julia kini berada di persimpangan antara dunia nyata dan dunia maya. Di satu sisi, ia seorang ibu muda yang membesarkan tiga anak, di sisi lain, ia adalah figur publik yang hidup di bawah lensa kamera. Keduanya nyata, keduanya menuntut kesabaran luar biasa.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Julia Prastini: Saat Dunia Maya Jadi Ruang Penghakiman
Sementara publik mungkin telah beralih ke topik viral berikutnya, bagi Julia, badai ini mungkin baru dimulai.