SEWAKTU.com -- Pada suatu pagi 19 Mei 1998, lensa kamera Erik Prasetya merekam momen yang akan diukir dalam sejarah Indonesia.
Spanduk besar dengan tegas meminta pemimpin jangka panjang Soeharto untuk turun dari kursi kekuasaannya.
Diambil sembilan hari setelah mahasiswa menggempur jalan-jalan Jakarta dengan tuntutan yang sama pada 3 Mei 1998, foto ini memperlihatkan semangat perlawanan yang menggebu.
Namun, gambar yang diabadikan oleh Erik Prasetya tidak hanya sekadar menyimpan momen perlawanan itu.
Ia juga mengabadikan momen keberanian seorang mahasiswa yang berhadapan langsung dengan barisan polisi, hanya dipisahkan oleh bendera merah putih, pada 12 Mei 1998.
Begitu juga, Erik menangkap potret tragis saat seorang mahasiswa tewas tertembus peluru tentara, menghentikan langkahnya di Universitas Trisakti.
Foto Erik juga menunjukkan seorang ibu, Hafiddin Royan, yang terpukul oleh duka saat menghadapi jenazah anaknya.
Momen-momen ini, yang diabadikan oleh lensa Erik Prasetya, menjadi titik awal dari apa yang akan dikenal sebagai Revolusi Reformasi 1998.
Peristiwa ini tidak hanya menandai akhir dari 32 tahun kekuasaan rezim otoriter Soeharto, tetapi juga memulai babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Pada tahun 1997, Soeharto dan partainya, Golkar, memenangkan pemilihan umum. Namun, kekuasaan mereka mulai tergoyahkan oleh krisis ekonomi yang melanda Asia.
Indonesia, yang tidak luput dari dampak krisis ini, mengalami pelemahan nilai tukar rupiah dan kepanikan investor yang menarik dana mereka dari negara ini.
Baca Juga: Telusur Sejarah Quick Count di Indonesia, Sudah Ada Sejak 1997 Jaman Soeharto
Pada titik ini, Soeharto meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Namun, bantuan ini datang dengan syarat yang berat, termasuk penutupan bank-bank yang tidak sehat.