SEWAKTU.com- Teater Koma tampil mengesankan dengan lakon "Matahari Papua". Selama lebih dari 2 jam, para penonton terbawa suasana dengan cerita yang ditulis oleh mendiang Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma.
Sebelum pementasan dimulai, istri mendiang Nano, Ratna Riantiarno memberikan sambutan. Dalam sambutannya, Ratna mengungkapkan, naskah ini berawal dari naskah pendek yang ditulis suaminya pada 2014 silam.
Kemudian pada 2022, mendiang Nano merampungkan naskah tersebut menjadi naskah panjang. Kata Ratna, naskah “Matahari Papua” awalnya akan dipentaskan pada November 2023 dan disutradarai langsung oleh mendiang Nano. Namun, takdir berkata lain. Nano Riantiarno dipanggil Yang Maha Kuasa pada Januari 2023.
Baca Juga: Siapa Inisiator Anang Hermansyah dan Ashanty Nyanyi di GBK saat Indonesia vs Filipina? Dalangnya...
Melanjutkan tongkat estafet mendiang Nano, kini “Matahari Papua” disutradari oleh sang anak, Rangga Riantiarno.
Ceritanya Relevan Banget
“Matahari Papua” berlatarkan wilayah Kamoro, Papua, yang terancam akan kehadiran “Naga” yang menjadi penguasa wilayah tersebut. Dalam lakon ini digambarkan penindasan suku setempat oleh "Naga" yang dikenal rakus dengan kekayaan alamnya Papua, seperti sawit, nikel, tembaga, dan hasil bumi Papua lainnya.
Tak disangka cerita “Matahari Papua” berbarengan dengan permasalahan yang terjadi di Papua akhir-akhir ini. Sepertinya, mendiang Nano berpandangan visioner dalam menuangkan goresan naskahnya.
Penindasan di suatu daerah memang akan terus terjadi, selama ada "Sang Naga" yang tamak, rakus, dan ugal-ugalan. Apalagi beranak pinak menjadi biawak atau monster-monster jahat setempat yang sudah didoktrin dengan gaya barat. Terus saja begitu, hingga dunia ini berakhir.
Baca Juga: Akhirnya! Nasarius Satpam Plaza Indonesia Batal Dipecat, Robby Purba dan Marlene Minta Maaf
Beberapa waktu lalu, Papua juga diguncang konflik kekerasan. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis tujuh peristiwa kekerasan di Papua yang menyebabkan empat korban tewas dan enam lainya luka-luka. Kekerasan tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Papua dan Papua Tengah.
Rangga mengungkapkan tidak ada kesengajaan dalam penyusunan naskah cerita. Menurutnya, hal ini hanya kebetulan. Ia menyebut, konflik sering terjadi di Papua. Sementara proses latihan baru dimulai pada bulan Maret.
“Jadi kebetulan banget kan. Kita baru mulai latihan kan Maret. Benar-benar baru ada, memang ada masalah di sana kan waktu Maret itu, tapi saya enggak mikir sampai sebegitunya. Tiba-tiba tapi akhirnya kita coba (pentaskah naskah) itu,” kata Rangga.
Namun demikian, Rangga menegaskan, bukan lah konflik Papua yang diutamakan dalam pementasan “Matahari Papua”, melainkan semangat Papua yang menjadi nilai utama sebagai inspirasi naskahnya.