SEWAKTU.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyoroti sektor kuliner sebagai penyumbang terbesar pencemaran air di sepanjang Sungai Ciliwung. Berdasarkan hasil kajian inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta pada 2024, aktivitas usaha kuliner terbukti memberikan dampak signifikan terhadap kualitas air sungai yang kian menurun.
Sebagai langkah pencegahan, DLH mengimbau seluruh pelaku usaha kuliner, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), untuk segera mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan menyusun Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Upaya ini diharapkan dapat menjadi bentuk komitmen bersama dalam menjaga kualitas lingkungan, kesehatan masyarakat, serta keberlanjutan ekosistem sungai di Ibu Kota.
Proses pendaftaran NIB dan SPPL dapat dilakukan dengan mudah melalui layanan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) maupun sistem Online Single Submission (OSS). Di Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melaporkan bahwa terdapat 351.700 bisnis kuliner. Jumlah tersebut mencakup beragam jenis usaha, mulai dari restoran, katering, hingga penjual makanan dan minuman keliling. Namun, sangat disayangkan bahwa sebagian besar, yaitu sekitar 91% dari total bisnis kuliner tersebut, belum terdaftar secara resmi. Artinya, mereka belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), sehingga tidak tercatat sebagai pelaku usaha yang memiliki kewajiban untuk mengelola dampak lingkungannya.
Baca Juga: Belasan Ikan Koi Mati Mendadak di Akuarium Taman Adipura, Warga Syok, DLH Ambil Tindakan Cepat
DLH menilai rendahnya kesadaran pelaku usaha dalam mengelola limbah menjadi salah satu penyebab utama pencemaran. Banyak bisnis yang langsung membuang limbah dari proses produksinya ke sungai, tanpa mengolahnya terlebih dahulu. Akibatnya, Indeks Kualitas Air (IKA) di Jakarta jauh dari target yang ditetapkan. Padahal, IKA merupakan salah satu komponen penting dalam penilaian Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) nasional.
Penemuan ini didukung oleh studi terbaru dari Lembaga Teknologi (LEMTEK) Universitas Indonesia. Laporan penelitian mencatat sebanyak 11.499 sumber pencemar titik dan 7.196 sumber pencemar non-titik tersebar di berbagai sungai di Jakarta, termasuk Ciliwung, Cipinang, Sunter, Cideng, dan Grogol. Sumber pencemar titik paling banyak berasal dari pertokoan dan restoran, disusul oleh bengkel, pergudangan, hotel, industri kecil, pasar, fasilitas pendidikan, perkantoran, serta rumah sakit.
Sementara itu, sumber pencemar non-titik terbanyak berasal dari area permukiman, baik yang teratur maupun tidak teratur, serta kawasan perkantoran dan permukiman kumuh. Para peneliti mengidentifikasi bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk pabrik tahu-tempe, bisnis binatu, rumah pemotongan hewan, dan warung makan, masih menjadi sumber utama limbah cair. Mayoritas usaha ini belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), sehingga limbah domestik dan industri kecil masih mengalir langsung ke drainase dan sungai.
Baca Juga: DLH Kota Bandung Tegaskan Pengelolaan Sampah Pasar Caringin Jadi Tanggung Jawab Swasta
Selain masalah teknis, tantangan pembiayaan menjadi hambatan utama bagi UMKM untuk membangun fasilitas pengolahan limbah. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan dan kajian finansial agar solusi pengelolaan limbah dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah berharap pelaku usaha dapat segera memenuhi kewajiban administrasi dan berkomitmen menerapkan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan demi tercapainya kualitas air sungai yang lebih baik.