- PNS: 2,87 juta (turun 4 % dibanding 2023)
- PPPK: 512 ribu (naik 65 %)
- Honorer/non-ASN: tersisa sekitar 340 ribu (target nol 2025)
Artinya, dalam dua tahun ke depan, PPPK diperkirakan akan mengisi sekitar 20 % total aparatur sipil di Indonesia.
Transformasi ini menandai pergeseran paradigma dari career-based (PNS) ke position-based system (PPPK).
Gubernur Sultra mengaku sempat khawatir terhadap pembiayaan gaji PPPK, namun menyebut manfaatnya jauh lebih besar.
“Memang beban APBD naik, tapi manfaat sosialnya lebih terasa. Mereka ini tulang punggung layanan publik,” katanya.
Sementara di Jawa Tengah, Sekda Provinsi menyebut pengangkatan PPPK menjadi “momen keadilan” bagi guru dan tenaga pendidikan.
“Mereka sudah belasan tahun mengajar tanpa pengakuan. Sekarang statusnya resmi.”
Baca Juga: PPPK Paruh Waktu 2025, Peluang Baru untuk Tenaga Honorer
Tantangan yang Masih Muncul
Meski data tampak positif, peneliti kebijakan publik dari UI menyebut bahwa lonjakan PPPK juga membawa risiko:
- Beban fiskal daerah meningkat. Sebagian APBD harus disesuaikan ulang.
- Sistem evaluasi belum siap. Penilaian kinerja PPPK masih manual di banyak instansi.
- Mobilitas jabatan terbatas. PPPK tidak bisa berpindah antar-instansi semudah PNS.
- Risiko “kontrak pasif.” Tanpa pelatihan berkelanjutan, kinerja bisa stagnan.
Namun, jika dikelola baik, PPPK justru bisa menjadi katalis birokrasi baru yang lebih fleksibel dan berbasis hasil kerja (output-based).
Arah Reformasi 2025
Kementerian PANRB menegaskan bahwa mulai 2026 seluruh ASN, baik PNS maupun PPPK, akan terintegrasi dalam Sistem Manajemen ASN Nasional (SIMASN).
Baca Juga: Dari Honorer ke PPPK Paruh Waktu: Jalan Baru Menuju Kepastian
Sistem ini akan menghubungkan database kepegawaian pusat dan daerah dalam satu dashboard digital.
Tujuannya yaitu efisiensi, transparansi, dan kemudahan rotasi pegawai lintas daerah.