Dalam dunia startup yang kerap mengandalkan pembakaran modal, keberanian Bukalapak menempuh langkah efisiensi struktural seperti ini bisa dibilang strategis.
Hasilnya, beban operasional jauh lebih ringan, dan arus kas perusahaan menjadi lebih sehat.
Baca Juga: Fakta Lengkap Perceraian Deddy Corbuzier dan Sabrina Chairunnisa, Ini Penjelasan Resminya
Laba Investasi Jadi Penopang Utama
Selain efisiensi, Bukalapak juga meraup keuntungan besar dari pos investasi bersih.
Pada kuartal III-2025, perusahaan mencatat pendapatan investasi Rp2,32 triliun, berbalik arah dari kerugian Rp596,47 miliar di periode sama tahun lalu.
Kombinasi antara efisiensi operasional dan hasil investasi ini membuat laba usaha Bukalapak melonjak menjadi Rp2,32 triliun.
Tak hanya itu, Bukalapak diketahui masih menyimpan sisa dana hasil IPO senilai Rp8,58 triliun per akhir Juni 2025.
Dana tersebut ditempatkan di berbagai instrumen investasi seperti deposito, giro bank, dan obligasi pemerintah.
Dari penempatan dana itu, Bukalapak memperoleh pendapatan keuangan Rp647,76 miliar, meski sedikit menurun 17,35% secara tahunan. Namun secara keseluruhan, strategi konservatif ini tetap memperkuat posisi keuangan perusahaan.
Baca Juga: Alasan Jujur di Balik Perceraian Deddy Corbuzier dan Sabrina Chairunnisa
Kinerja yang “Tidak Organik”, Tapi Efektif
Meski laba bersih menembus angka Rp2,9 triliun, banyak analis menilai pertumbuhan Bukalapak kali ini belum sepenuhnya organik.
Kinerja dari sisi pendapatan inti e-commerce masih stagnan, sementara lonjakan laba lebih banyak didorong dari pendapatan non-operasional, terutama hasil investasi dan penghematan biaya.
Namun, di sisi lain, langkah ini dianggap sebagai bukti kedewasaan strategi finansial Bukalapak. Di tengah tekanan kompetisi sengit dengan Shopee dan Tokopedia, perusahaan berhasil menunjukkan kemampuan bertahan melalui efisiensi dan pengelolaan aset yang cerdas.