Situasi semakin memanas ketika Gus Dur meminta Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan, untuk menyatakan keadaan darurat, namun ditolak. Gus Dur kemudian memecat Yudhoyono pada 1 Juli 2001.
Pada 20 Juli, Amin Rais mempercepat Sidang Istimewa MPR, dan dengan dukungan militer, Gus Dur mengeluarkan maklumat pembubaran DPR/MPR, pembekuan Partai Golkar, dan percepatan pemilu.
Namun, maklumat tersebut tidak mendapat dukungan luas. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri.
Setelah turun dari jabatannya, Gus Dur tetap aktif di kancah politik, terutama melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Konflik internal di PKB terjadi setelah Gus Dur memecat Matori Abdul Djalil dari posisi Ketua Umum.
Perpecahan ini menghasilkan dua kubu PKB, yaitu PKB Kuningan di bawah Gus Dur dan PKB Batu Tulis di bawah Matori. Mahkamah Agung akhirnya memenangkan gugatan Gus Dur, dan PKB kembali mendukungnya.
Pada Pemilu 2004, Gus Dur berencana mencalonkan diri sebagai presiden, namun gagal memenuhi persyaratan kesehatan yang ditetapkan KPU. Sebagai gantinya, ia mendukung pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid yang akhirnya kalah.
Gus Dur kemudian menjadi salah satu pemimpin Koalisi Nusantara Bersatu, bersama tokoh-tokoh seperti Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati, yang secara terbuka mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Di akhir hayatnya, Gus Dur masih terlibat dalam sengketa internal PKB, kali ini dengan Muhaimin Iskandar.
Berbeda dengan konflik sebelumnya, kali ini Gus Dur kalah secara legal, dan Muhaimin tetap menjabat sebagai Ketua Umum PKB.
Pada akhir Desember 2009, kesehatan Gus Dur memburuk saat mengunjungi Rembang dan Jombang.
Setelah dirawat di Jombang, kondisi Gus Dur semakin kritis dan ia dipindahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pada 30 Desember 2009, sekitar pukul 18.45 WIB, Gus Dur menghembuskan napas terakhirnya.
Pemakaman kenegaraan yang penuh haru diadakan pada 31 Desember di Jombang, Jawa Timur.
Bendera dikibarkan setengah tiang selama tujuh hari sebagai penghormatan bagi "Sang Guru Bangsa." Meskipun perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan dan kontroversi, Gus Dur meninggalkan warisan yang mendalam bagi Indonesia, terutama dalam hal demokrasi, pluralisme, dan kebebasan berpikir.
Artikel Terkait
5 Arti Bahasa Tubuh dari Tatapan Mata, Salah Satunya Jadi Pertanda Jatuh Cinta
Ingin Jago Public Speaking? Coba Terapkan 6 Bahasa Tubuh Ini Agar Tidak Terlihat Gugup
Pernah Jadi Tersangka KPK, Warganet Soroti Keputusan Prabowo Pilih Eddy Hiariej Jadi Kandidat Menteri
Jelang Pelantikan Presiden, Ini Daftar 35 Tokoh yang Diundang Prabowo ke Kediamannya
Sepak Terjang Raendi Rayendra, Calon Wali Kota Bogor Berlatar Dokter dan Akademisi