SEWAKTU.com - Fenomena kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan tanpa tujuan utama untuk berbelanja ternyata membawa dampak yang cukup signifikan terhadap sektor makanan dan minuman. Budihardjo Iduansjah, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), menyebutkan bahwa kehadiran kelompok pengunjung yang hanya sekadar berjalan-jalan dan bertanya-tanya yang dikenal dengan sebutan ‘rojali’ (rombongan jarang beli) dan ‘rohana’ (rombongan hanya nanya) secara tidak langsung turut mendongkrak pendapatan gerai F&B di pusat perbelanjaan.
Menurut Budihardjo, kehadiran pengunjung tipe ini memberikan tambahan omzet bulanan sebesar 5 hingga 10 persen bagi tenant makanan dan minuman. Ia menjelaskan bahwa perubahan pola konsumsi masyarakat kini mengarah pada pemanfaatan mal sebagai tempat bersosialisasi atau berkumpul, bukan semata untuk membeli barang. Hal ini terlihat dari kecenderungan orang-orang yang datang ke mal, namun hanya satu-dua orang saja yang benar-benar melakukan transaksi pembelian.
Ia mencontohkan, dalam satu kelompok yang duduk di gerai seperti kafe atau kedai kopi ternama, lima orang bisa saja hanya memesan satu minuman untuk dinikmati bersama sembari mengobrol lama. Namun begitu, kehadiran mereka tetap memberikan potensi konsumsi yang tidak bisa diabaikan. Rasa haus atau keinginan mencoba makanan ringan membuat mereka pada akhirnya melakukan pembelian, meskipun tidak dalam jumlah besar.
Untuk mengakomodasi perubahan perilaku ini, para pelaku ritel telah melakukan berbagai penyesuaian, termasuk dengan memperkuat kanal penjualan digital. Meski demikian, Budihardjo menekankan bahwa dampak positif dari fenomena ini sebagian besar hanya dinikmati oleh sektor makanan dan minuman saja. Sementara itu, sektor lain seperti fashion dan department store justru masih bergulat dengan penurunan pendapatan yang cukup signifikan.
Ia mengungkapkan bahwa penurunan omzet di sektor ritel non-F&B, khususnya di toko-toko pakaian dan department store, masih berada di kisaran 10 hingga 15 persen. Kondisi ini belum menunjukkan pemulihan penuh setelah masa pandemi COVID-19. Lebih lanjut, pergeseran kebiasaan belanja ke ranah daring juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak konsumen yang kini lebih memilih berbelanja online karena dianggap lebih praktis dan variatif.
Sebagian besar toko ritel yang mengandalkan penjualan langsung di mal bahkan harus menutup operasionalnya karena tidak mampu bersaing dengan pola belanja modern berbasis teknologi tersebut. Budihardjo menyayangkan kondisi ini, namun juga menegaskan pentingnya adaptasi agar pelaku usaha tetap relevan di tengah dinamika yang terus berubah.
Baca Juga: Bisnis Rp267 Miliar Antara Raffi Ahmad dan STY Terancam Gagal Total Imbas Pemecatan
Perubahan ini menandakan bahwa pusat perbelanjaan kini tak lagi hanya menjadi tempat transaksi jual-beli, melainkan juga ruang sosial masyarakat urban. Meskipun menghadapi tantangan, terutama bagi sektor fesyen dan produk non-konsumsi langsung, fenomena 'rojali' dan 'rohana' tetap memberikan peluang yang bisa dimaksimalkan oleh pelaku usaha, terutama di sektor F&B yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap tren tersebut.
Artikel Terkait
Muhammadiyah Jawab Begini Usai Resmi Kelola Bisnis Tambang di Indonesia
Awalnya Bangun Bisnis Bareng, Shandi Purnamasari dan Maharani Kemala Pecah Kongsi Bisnis MS Glow
Jalani Bisnis, Konten, dan Hubungan, Juan dan Eve Fokus pada Manajemen Waktu
Gerobakan Rasa Restoran: Bisnis Kaki Lima dengan Keuntungan Fantastis
Silaturahmi Pengurus KMP, Tri Adhianto Tekankan Transformasi Bisnis di Era Digital