Rocky menyebut bahwa dirinya tidak terpancing dalam perdebatan tersebut karena ia telah terlatih untuk membaca bahasa tubuh orang lain.
Ia menambahkan bahwa penting untuk mengetahui kapan kemarahan muncul dan kapan harus dihentikan. Ini adalah bagian dari proses berpikir yang lebih matang, yang juga diibaratkan Rocky sebagai kemampuan untuk membaca alam.
Sebagian pihak menilai bahwa debat di acara tersebut lebih mirip dengan ajang tarung bebas seperti *UFC*, namun Rocky menegaskan bahwa dalam debat, ketidaksopanan hanya terjadi jika ada kontak fisik.
Selama argumen hanya disampaikan melalui kata-kata, maka itu masih dalam batas yang dapat diterima.
Baca Juga: Bocoran Starting Line Up Timnas Indonesia vs Arab Saudi Malam Ini, Bikin Roberto Mancini Ketar-Ketir
Pedagogi dalam Perdebatan
Rocky Gerung juga menjelaskan bahwa dalam setiap perdebatan, ia selalu mencoba menyampaikan konsep-konsep akademis dengan tujuan pedagogis, bukan sekadar retorika.
Ia berharap bahwa setiap orang yang terlibat dalam perdebatan mampu mengevaluasi diri dan menghasilkan diskursus akademis yang lebih bermutu.
"Politik adalah soal keindahan bahasa, ketajaman intelektual, dan kecerdasan retorika," katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya memperkenalkan istilah-istilah hukum dan politik kepada masyarakat.
Misalnya, setelah perdebatan tersebut, banyak mahasiswa hukum yang tertarik untuk mempelajari istilah *pacta sunt servanda*, yang berarti "perjanjian harus dipatuhi".
Rocky menjelaskan bahwa istilah ini sering kali disalahartikan dan perlu dijelaskan lebih mendalam dalam konteks hukum yang lebih luas.
Belajar dari Debat Politik
Rocky menekankan bahwa perdebatan yang panas tidak boleh berakhir dengan kekerasan fisik.
Di beberapa negara, termasuk di parlemen negara tetangga, sering terjadi perkelahian fisik dalam debat politik.