Ia menekankan, penanganan tidak bisa sekadar dengan niat berhenti.
Penderita memerlukan terapi komprehensif, mulai dari obat antidepresan, stimulasi otak seperti Transcranial Magnetic Stimulation, psikoterapi semisal Cognitive Behavior Therapy, hingga rehabilitasi jangka panjang.
“Pasien butuh pengobatan, konseling, dan dukungan kuat. Jangan dihakimi, tapi dampingi. Negara juga harus hadir dengan aturan yang jelas,” kata Lahargo.
Keprihatinan juga disampaikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Bogor.
Ketua PCNU, Edi Nurockhman, menilai persoalan judi online tidak bisa hanya ditangani satu pihak.
Menurutnya, pendekatan kolaboratif antara pemerintah, tokoh agama, aparat, dan masyarakat menjadi kunci.
“Kami sudah pernah sampaikan perlunya pembinaan bagi pelaku judol. Namun Pemkot Bogor belum memiliki data akurat siapa saja pelakunya, sehingga program pembinaan sulit dijalankan maksimal,” ujarnya.
PCNU, lanjut Edi, telah menggelar sosialisasi di sejumlah kelurahan untuk mengedukasi warga soal bahaya judi online.
Ia menyebut lemahnya iman, terbatasnya lapangan kerja, serta mudahnya akses melalui gawai sebagai faktor utama maraknya praktik tersebut.
“Buka lapangan kerja seluas-luasnya. Kalau masyarakat punya penghasilan layak, pelaku judol dan premanisme akan berkurang,” tegasnya.
Selain itu, ia meminta aparat hukum lebih fokus menindak bandar judi ketimbang hanya menyasar pemain kecil.
“Kalau ada oknum aparat atau pejabat terlibat, harus ditindak tegas,” tambahnya.
Edi menutup dengan seruan agar penegakan hukum, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan spiritual berjalan beriringan.
“Semua pihak harus bergerak bersama. Tidak bisa hanya mengandalkan aparat,” tandasnya. (ADV)