Gaya Kerja Ekstrem Takaichi: Citra Politik yang Sengaja Dibangun
Takaichi memang sejak lama menampilkan diri sebagai pemimpin dengan kerja tanpa henti.
Dalam kampanye terakhirnya, ia menjanjikan akan terus “bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja”, sebuah slogan yang mendapat kritik dari keluarga korban karoshi karena dianggap mengglorifikasi kultur kerja berlebihan.
Selama tiga minggu pertama masa jabatannya, jadwalnya sangat padat:
- Menjamu mantan Presiden AS Donald Trump,
- Menghadiri pertemuan tingkat tinggi di Malaysia dan Korea Selatan,
- Hingga menjalani rangkaian sidang Parlemen hampir tanpa jeda.
Agenda yang padat ini memang mencerminkan tekanan besar yang dihadapi pemimpin negara.
Tetapi pada saat yang sama, publik khawatir gaya kerja ekstrem itu akan mengalir ke bawah dan menjadi budaya baru dalam lingkaran pemerintahan.
Baca Juga: Resmi Bercerai, Tasya Farasya Unggah Kue Bertuliskan Officially Unmarried
Ahli Kebijakan: “Pemimpin Boleh Lelah, Tapi Jangan Bebani Staf”
Shigeaki Koga, mantan pejabat di Kementerian Ekonomi Jepang, mengatakan bahwa sulit bagi pemimpin modern mendapatkan cukup waktu istirahat. Namun ia menekankan adanya batasan yang harus dihormati.
“Mungkin mustahil bagi pemimpin modern untuk benar-benar punya waktu istirahat yang ideal,” ujar Koga.
Ia menutup komentarnya dengan kalimat yang kini viral: “Pukul tiga pagi tetap terlalu pagi, apa pun alasannya.”
Sebagian analis menilai bahwa jika Takaichi tidak menyesuaikan ritme kerjanya, isu ini bisa berubah menjadi tekanan politik jangka Panjang terutama mengingat sensitivitas Jepang terhadap isu karoshi.
Kontroversi rapat pada pukul 3 pagi ini telah berkembang menjadi perdebatan nasional. Bukan hanya tentang apakah Takaichi bekerja terlalu keras, melainkan tentang arah budaya kerja Jepang di masa depan.
Apakah Jepang akan terus mempertahankan pola kerja ekstrem yang telah memicu banyak tragedi? Atau justru bergerak menuju sistem kerja yang memberi ruang bagi keseimbangan hidup?
Rapat singkat di dini hari itu mungkin hanya sepenggal peristiwa. Namun cara publik bereaksi menunjukkan bahwa masyarakat Jepang mulai lelah dengan standar kerja yang menuntut terlalu banyak dari manusia bahkan dari seorang perdana menteri.***