Dalam sidang Parlemen beberapa jam setelah rapat tersebut, Takaichi menjelaskan alasan di balik aktivitas tak lazim itu.
Ia menyebut bahwa mesin faks di rumahnya bermasalah, sehingga ia harus mendatangi kediaman resmi perdana menteri untuk memeriksa ulang materi pengarahan menjelang rapat anggaran pukul 9 pagi.
Takaichi mengakui bahwa aktivitas tersebut “membuat staf merasa tidak nyaman”, namun ia menilai langkah itu penting untuk menyusun ulang jawaban yang akan disampaikan kepada anggota parlemen.
Penjelasan itu tetap tidak cukup menghilangkan persepsi publik bahwa ritme kerja ekstremnya dapat menciptakan budaya kerja yang berbahaya, terutama bagi staf yang tidak punya posisi tawar untuk menolak.
Di sisi lain, kelompok pendukung Takaichi menilai kritik publik terlalu berlebihan. Beberapa politisi
Partai Demokrat Liberal (LDP) berpendapat bahwa rapat itu terjadi karena anggota oposisi mengirimkan pertanyaan rapat terlalu larut malam, sehingga Takaichi mengejar waktu untuk mempersiapkan diri.
Bahkan dari kalangan pebisnis muncul pembelaan keras. Kenji Koshio, CEO perusahaan elektronik di Kobe, menuliskan dalam blognya bahwa pekerjaan beberapa profesi memang menuntut jam kerja panjang.
“Pasukan, polisi, pemadam kebakaran, tenaga medis… mereka bekerja 24 jam. Mengapa tidak Perdana Menteri Jepang?” tulisnya.
“Berhentilah bersikap lemah dan hargai orang-orang yang bekerja keras untuk rakyat Jepang,” lanjutnya.
Pendapat seperti ini menggambarkan jurang pandangan yang semakin lebar antara mereka yang ingin mempertahankan budaya kerja lama dan mereka yang mendorong Jepang bergerak menuju standar kerja yang lebih manusiawi.
Yang membuat kontroversi ini semakin menarik adalah waktu terjadinya. Jepang sedang mempertimbangkan pelonggaran batas lembur yang diberlakukan pada 2019 setelah kasus terkenal Matsuri Takahashi, pegawai muda Dentsu yang bunuh diri akibat lembur ekstrem.
Baca Juga: Rujukan BPJS Dirombak, Pasien Tak Perlu Lompat-lompat RS
Pemerintah kini kembali membuka diskusi untuk melonggarkan regulasi tersebut, dengan dalih kebutuhan ekonomi dan fleksibilitas bagi perusahaan.
Takaichi termasuk yang mendukung pelonggaran sebagian aturan lembur. Ia beralasan lembur menjadi sumber penghasilan penting bagi banyak pekerja. Namun ia tetap menegaskan bahwa dirinya menolak lembur yang “mengorbankan kesehatan”.
Kritikus menilai pernyataan tersebut kontradiktif jika dibandingkan dengan gaya kerja pribadi yang ia tunjukkan terutama rapat dini hari yang menyita perhatian publik.
Artikel Terkait
DPRD dan Pemkot Bogor Tetapkan Raperda Prioritas, Fokus pada Kota Cerdas dan Perlindungan Anak
Rujukan BPJS Dirombak, Pasien Tak Perlu Lompat-lompat RS
Ketua DPRD Kota Bekasi Minta RW Taat Aturan dalam Penggunaan Dana Hibah
DPRD Kota Bekasi Tolak Rencana Pemkot Sewa 72 Mobil Listrik, Desak Anggaran Dialihkan ke Pengelolaan Sampah
Profil Lengkap Gus Elham Yahya Usai Videonya Viral di Media Sosial
9.687 PPPK Paruh Waktu Resmi Dilantik, Ketua DPRD Sastra Winara: Ini Momentum Besar Pelayanan Publik
Video Kontroversial Gus Elham Yahya Viral, PBNU dan Wamenag Beri Respons Begini
Perkuat Pendidikan Karakter, Rudy Susmanto Apresiasi Pembangunan Rumah Ibadah di SMA Kemala Taruna Bhayangkara
Resmi Bercerai, Tasya Farasya Unggah Kue Bertuliskan "Officially Unmarried"
Makna Kue Perpisahan Bertuliskan “Officially Unmarried” Tasya Farasya Setelah Cerai