SEWAKTU.com - Saya masih ingat betul malam itu. Hujan turun deras, suara petir bersahutan di langit Jakarta, dan saya duduk di depan laptop sambil menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin.
Di layar, tampak deretan rumah-rumah dijual dari berbagai situs properti. Tapi satu hal yang membuat saya berhenti menggulir layar adalah sebuah iklan di Properti1.com. Judulnya sederhana: "Jual rumah BU: Lokasi strategis, harga di bawah pasaran." Saya terpaku.
Perjalanan saya untuk memiliki rumah sendiri bukanlah hal yang mudah, apalagi tanpa KPR, tanpa campur tangan orang tua, dan tanpa bantuan dari mertua. Banyak orang berpikir saya dapat warisan atau punya koneksi orang dalam.
Padahal, saya hanya seorang pegawai swasta biasa, dengan gaji yang bahkan belum dua digit saat pertama kali mulai bermimpi punya rumah sendiri.
Saya dan istri sejak awal sepakat: sebisa mungkin tidak mau menyusahkan orang tua. Mereka sudah cukup banyak berjuang membesarkan kami. Untuk rumah, kami ingin berdiri di kaki sendiri.
Awalnya, tentu saya mempertimbangkan KPR. Tapi semakin saya pelajari, semakin berat rasanya hidup dengan cicilan 15 sampai 20 tahun ke depan. Saya jadi terobsesi dengan satu hal: beli rumah secara tunai, dengan cara saya sendiri.
Sejak itu, hidup saya berubah drastis. Saya mulai menerapkan frugal living secara ekstrem. Tidak ada nongkrong, tidak ada liburan, baju baru hanya dibeli setahun sekali saat diskon besar, bahkan saya rela berjalan kaki beberapa kilometer setiap hari untuk menghemat ongkos transportasi.
Saya dan istri tinggal di kos kecil selama hampir empat tahun, menyisihkan hampir 60% dari penghasilan setiap bulan.
Lebih dari itu, saya bekerja lebih dari 100 jam seminggu. Di siang hari saya bekerja sebagai karyawan di kantor, malam hari saya ambil proyek freelance desain dan penulisan konten. Akhir pekan saya habiskan jadi admin toko online dan bantu jualan teman.
Tubuh lelah, waktu istirahat minim, tapi saya terus jalan karena tahu ini untuk masa depan yang nyata.
Selama menabung itu, saya juga belajar. Saya sering buka-buka situs properti seperti Properti1.com untuk melihat tren harga. Saya belajar bagaimana cara menilai rumah, mengenali tanda-tanda properti yang dijual karena butuh uang, dan bagaimana melakukan pendekatan dengan penjual.
Banyak rumah yang dijual dengan harga miring karena pemiliknya sedang terdesak kebutuhan, dan ini bukan berarti kita memanfaatkan kesulitan orang, tapi kadang memang dibutuhkan solusi cepat dari dua sisi.
Sampai akhirnya, saya melihat rumah yang saya ceritakan di awal tadi. Lokasinya di pinggiran Jakarta, tapi cukup strategis, dekat tol dan stasiun. Pemiliknya adalah pasangan lansia yang ingin pindah ke luar kota.
Mereka menjual rumah dengan harga jual rumah 30% lebih murah dari pasaran karena ingin segera pindah dan tidak ingin ribet berurusan dengan bank.