Menurutnya, kondisi ini tidak bisa dianggap sepele. Minimnya keterlibatan ayah berdampak langsung pada kualitas tumbuh kembang anak.
Baca Juga: Pemerintah Cairkan PIP Desember 2025, Ini Panduan Cek Penerima
Dampak Serius bagi Tumbuh Kembang Anak
Wihaji menjelaskan, anak yang tumbuh tanpa peran ayah berisiko mengalami berbagai persoalan, mulai dari masalah akademik, gangguan emosi, hingga perilaku agresif dan keterlibatan dalam aktivitas berisiko.
"Kami membuat kebijakan ini untuk mengingatkan para ayah atau figur ayah agar hadir dan memberi perhatian lebih kepada anak-anaknya,” tegasnya.
Bagi BKKBN, kehadiran ayah bukan sekadar simbolik. Interaksi langsung ayah dengan guru dan lingkungan sekolah dinilai penting untuk membangun kepercayaan diri anak.
Handphone Bukan “Keluarga Baru”
Selain isu fatherless, BKKBN juga menyoroti tantangan lain dalam pengasuhan modern, yakni penggunaan handphone pada anak tanpa pengawasan.
Wihaji menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak kemajuan teknologi. Namun, gawai tidak boleh menggantikan peran orang tua dalam membangun kedekatan emosional.
"Kalau tidak hati-hati, keluarga baru itu bisa mengganggu masa depan anak Indonesia. Siapa keluarga baru itu? Handphone,” ujarnya dengan nada tegas.
Pesan ini sekaligus menegaskan bahwa kehadiran fisik dan emosional orang tua jauh lebih penting dibanding sekadar memberikan fasilitas teknologi.
Mengambil Rapor Bukan Formalitas
Dalam konteks GEMAR, mengambil rapor bukan sekadar rutinitas akhir semester. Menurut Wihaji, momen ini menjadi ruang refleksi bersama antara ayah dan anak.
"Dengan hadir, ayah bisa memahami hasil belajar anak. Anak juga merasa diperhatikan dan didukung, sehingga motivasi dan prestasinya bisa meningkat,” jelasnya.
Kehadiran ayah di sekolah juga diharapkan memperkuat komunikasi antara keluarga dan pihak sekolah, sehingga masalah belajar atau perilaku anak bisa dideteksi lebih dini.