Di Balik Rapat Pukul 3 Pagi Sanae Takaichi, Budaya Kerja Jepang Dipertanyakan

- Jumat, 14 November 2025 | 18:15 WIB
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi memicu kontroversi usai menggelar rapat pukul 3 pagi di Tokyo. Foto: Istimewa.
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi memicu kontroversi usai menggelar rapat pukul 3 pagi di Tokyo. Foto: Istimewa.

SEWAKTU.com - Pukul tiga pagi di Tokyo bukanlah waktu yang identik dengan rapat kabinet atau pembahasan materi anggaran. Namun pada sebuah Jumat dini hari, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi justru memulai hari dengan sesi kerja intensif bersama para stafnya.

Beberapa jam kemudian ia sudah berdiri di hadapan anggota Parlemen. Satu tindakan itu saja cukup mengguncang diskursus nasional, menyinggung isu lama yang tak pernah tuntas yaitu budaya kerja ekstrem Jepang dan warisan panjang fenomena karoshi.

Dalam konteks politik, rapat dini hari mungkin tampak sepele. Namun dalam konteks sosial-budaya Jepang, ia menyentuh titik sensitive soal kesehatan pekerja, tekanan pemerintah, standar hidup, hingga ketimpangan kekuasaan antara atasan dan bawahan.

Di sinilah kontroversi Takaichi berkembang menjadi pembahasan yang jauh lebih besar dari sekadar jam rapat.

Ketika media nasional menyebut pertemuan itu sebagai “sesi belajar pukul 3 pagi”, masyarakat langsung bereaksi.

Baca Juga: Gelar Rapat Pukul 3 Pagi, PM Jepang Sanae Takaichi Dikecam

Jepang bukan negara yang asing terhadap ritme kerja keras, tetapi publik juga tahu bahwa jam dini hari adalah wilayah berbahaya: waktu ketika tubuh manusia secara biologis berada di titik terlemah, ketika pikiran tidak lagi optimal, dan ketika tekanan kerja dapat berubah menjadi risiko kesehatan.

Bagi banyak warga Jepang, tindakan Takaichi bukan hanya menunjukkan komitmen kerja yang tinggi, tetapi juga menghidupkan kembali bayangan gelap budaya kerja lama yang pernah merenggut banyak nyawa.

Kontroversi itu menjadi simbol bahwa perdebatan reformasi jam kerja masih rapuh dan mungkin belum benar-benar dimulai.

Ketika Yoshihiko Noda, mantan Perdana Menteri, menyebut keputusan itu sebagai tindakan “gila”, ia mengirim pesan tegas: bahkan bagi figur yang pernah memimpin negeri, jam kerja seperti itu tidak masuk akal.

Komentarnya mengandung dua pesan penting:
1. Pemimpin boleh bekerja keras, tetapi tidak boleh menyeret orang lain ke ritme ekstrem yang ia pilih sendiri.
2. Budaya kerja yang menormalisasi kelelahan bukanlah bentuk profesionalisme.

Pernyataan Noda juga memotret dilema struktural Jepang: pemimpin sering kali diposisikan sebagai figur yang harus “selalu siap”, namun staf merekalah yang paling rentan terhadap jam kerja ekstrem. Takaichi boleh kuat, tetapi staf bukan mesin.

Namun narasi ini tidak tunggal. Di sisi lain, ada pembela yang percaya ritme kerja ekstrem justru memberi teladan.

Komentar CEO Kenji Koshio, yang menyinggung bahwa pekerja darurat bekerja 24 jam, memperlihatkan pandangan lama yang masih kuat di kalangan pelaku industri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Mahmud Amsori

Tags

Artikel Terkait

Terkini

KPK Gelar OTT di Banten, 9 Orang Langsung Diamankan

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:42 WIB
X