SEWAKTU.com - Keputusan mengikuti sang suami merantau ke Jepang pada 2019 menjadi awal perjalanan baru bagi Evi Suryani, atau yang akrab disapa Vivi. Tinggal di Prefektur Kanagawa bersama tiga anaknya yang masih kecil, Vivi dihadapkan pada berbagai tantangan adaptasi, termasuk dalam hal pendidikan anak-anaknya.
Setahun setelah menetap, Vivi akhirnya memperoleh kartu izin tinggal atau resident card, yang menjadi akses utama ke berbagai layanan publik di Jepang, termasuk sistem pendidikan. Ia pun mulai mengenal lebih jauh bagaimana cara menyekolahkan anak di negeri Sakura tersebut.
Anak sulungnya memulai pendidikan di taman kanak-kanak (TK) swasta yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal. Menariknya, proses pendaftaran sekolah di Jepang terbilang sangat sederhana. “Hanya perlu usia yang sesuai dan memiliki kartu tinggal di Jepang,” ujar Vivi. Tidak ada tes membaca, menulis, atau berhitung seperti yang umum ditemukan di Indonesia.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Siapkan Reformasi Pendidikan Jawa Barat, SPMB 2025 Harus Bebas Kegaduhan
Setelah pendaftaran administrasi selesai, setiap calon siswa wajib menjalani pemeriksaan kesehatan yang telah difasilitasi secara gratis oleh pemerintah daerah. TK di Jepang sendiri umumnya memiliki tiga tingkatan kelas, dimulai dari usia 3 hingga 5 tahun.
Vivi memilih TK swasta meski biayanya lebih tinggi dibanding TK negeri. Ia menyebutkan, biaya masuk mencapai sekitar Rp 15,5 juta, dengan seragam senilai Rp 1,5 juta, serta biaya bulanan sekitar Rp 3,5 juta untuk SPP dan makan siang. Namun, pemerintah Jepang memberikan subsidi sebesar Rp 3 juta, sehingga orang tua hanya perlu membayar Rp 500 ribu per bulan.
Kemampuan bahasa bukan menjadi penghalang. Saat pertama masuk TK, anak Vivi belum bisa berbahasa Jepang, namun tetap diterima. “Sekolah di Jepang itu inklusif dan egaliter. Semua anak punya hak yang sama untuk sekolah,” jelas Vivi, lulusan Universitas Indonesia.
Ia pun mengisahkan bahwa dalam waktu satu tahun, anaknya sudah dapat berkomunikasi lancar dalam bahasa Jepang, berkat pendekatan sekolah yang membiarkan anak beradaptasi secara alami melalui interaksi sehari-hari.
Transisi ke SD: Pemerintah yang Daftarkan dan Pilih Sekolah
Saat memasuki jenjang sekolah dasar, proses yang dialami Vivi tak kalah menarik. Tak ada tes masuk yang membebani. Bahkan, pemerintah daerah yang aktif mendaftarkan anak ke sekolah negeri melalui sistem zonasi.
“Dewan Pendidikan mengirimkan surat ke rumah, menanyakan apakah anak akan bersekolah di SD Jepang. Setelah saya jawab ‘iya’, mereka kirim surat balasan berisi nama sekolah yang sudah ditentukan,” ungkapnya. Kebetulan, SD yang dipilih pemerintah berlokasi tepat di seberang rumah mereka, sehingga sangat memudahkan aktivitas harian. Setelah itu, proses serupa dengan TK kembali dijalani: pemeriksaan kesehatan, konfirmasi pendaftaran ke sekolah, orientasi kurikulum, dan wawancara ringan dengan orang tua dan anak.
Menariknya, biaya masuk SD negeri di Jepang adalah gratis. Siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, dan hanya diwajibkan membeli seragam olahraga serta topi senilai sekitar Rp 600 ribu. Buku pelajaran juga diberikan tanpa biaya. Satu-satunya pengeluaran rutin adalah biaya makan siang sekitar Rp 1 juta per bulan.