Padahal, di balik layar, pernikahan ini berjalan sederhana. Kepala Desa Jeruk, Haris Kuswanto, membenarkan bahwa acara tersebut dilaksanakan sesuai hukum dan tidak ada pelanggaran.
"Semua sah, baik agama maupun negara. Tidak ada paksaan,” ujarnya.
Namun, publik yang menontonnya hanya melihat potongan sebuah video pendek tanpa konteks sosial, latar keluarga, atau niat pribadi kedua mempelai.
Efek Echo Chamber di Media Sosial
Media sosial bekerja seperti gema, semakin keras satu opini diulang, semakin kuat gaungnya. Bila satu komentar menilai “tidak pantas”, komentar berikutnya cenderung mengikuti arah yang sama.
Fenomena ini disebut “echo chamber effect” ruang digital di mana pengguna hanya mendengar opini yang memperkuat pandangannya sendiri.
Kasus Tarman dan Shela menjadi contoh nyata bagaimana narasi publik terbentuk dari persepsi kolektif, bukan fakta objektif.
Baca Juga: Fenomena Sosial Pernikahan Tarman- Shela: Antara Cinta dan Norma yang Sesungguhnya
Publik yang Haus Sensasi, Bukan Penjelasan
Kita sering kali lebih tertarik pada cerita yang membuat kaget daripada kisah yang menjelaskan. Mahar Rp 3 miliar dan perbedaan usia 50 tahun menjadi kombinasi sempurna untuk “viralitas” sesuatu yang memicu debat, meme, dan konten lanjutan.
Namun di balik viralitas itu, ada sisi manusiawi yang jarang disorot dua orang yang memutuskan untuk menikah dengan cara mereka sendiri.
Mereka bukan tokoh publik, bukan selebritas. Tapi dunia digital telah menjadikan mereka “figur viral” yang dikomentari jutaan orang.
Bijak dalam Bereaksi
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap video viral, ada kehidupan nyata yang sedang berjalan. Tidak semua yang viral harus dihakimi. Tidak semua yang berbeda harus ditertawakan.
Sebelum ikut berkomentar, kita bisa bertanya pada diri sendiri: