"Dari pengalaman tersebut, saya pun berkesimpulan bahwa lokalisasi lebih baik dibanding dibiarkan sporadis," tambah lulusan S2 UGM ini.
Baca Juga: Mendikbud Nadiem Makarim Jawab Soal Tudingan Permendikbud PPKS Sebagai Alat Melegalkan Perzinaan
Psikolog yang sedang menempuh pendidikan doktor (Phd) di UClouvain, Belgia ini membeberkan alasannya menyebut lokalisasi lebih baik dibanding dibiarkan sporadis.
Menurutnya, pada tahun 2008-2009 an program de-lokalisasi pelacuran di Puncak menyebabkan para pelacur pindah tempat.
"Akhirnya mereka menyewa tempat (kos). Masalah yang muncul kemudian, ternyata berdampak buruk bagi masyarakat di sekitar," kata Ima.
Tak hanya berpengaruh pada keharmonisan keluarga, tapi juga masalah penyakit kelamin dan HIV. Belakangan malah berpengaruh pada perkembangan anak-anak.
"Anda tahu gak, ada anak kecil kecanduan onani?," tanya Ima.
Karena sistem nilai yang berkembang di masyarakat yang mulai berubah. Orang tua menjadi terbiasa menonton film porno yang mudah diakses oleh anak anak di lingkungan tersebut.
"Bayangkan, si anak ini di pengajian mojok lalu onani di depan teman-temannya," jelas Ima.
"Taman pengajian anak-anak yang kami buat menampung anak anak tersebut," tambah Ima.
Pada tahun 2012 an setelah Ima meninggalkan lokasi untuk menemani suaminya studi, kasus HIV bertambah parah. Banyak ibu yang melahirkan anak dengan HIV. Angkanya menggila.
"Karena sporadis begini, bagaimana pemerintah bisa ngatur? Lebih sulit! Akibat buruknya lebih besar. Tidak bisa dikendalikan. Sudah menyatu dengan masyarakat. Pemilik kos, warung, transport, mucikari," kata Ima.
"Ustadz bisa menangani situasi ini? Tidak. Harus dengan kebijakan," sambung Ima.
Ia mengajak semua orang untuk tidak mudah melabeli orang lain.
"Jadi jangan asal label orang ya! Tanyakan dulu alasannya. Supaya anda bisa belajar dari pengalaman orang lain," ucapnya.