“Sekolah2 Muhammadiyah, pondoknya NU, sekolahnya Katolik Kristen dll terus tumbuh dalam segalam keterbatasannya. Pun demikian klinik kesehatan.”
“Kembali ke konsep “menitipkan anak”. Ketika itu pada umumnya ortu tidak banyak menuntut kualitas pendidikan. Yang penting anak2 mereka bisa baca tulis, bisa dapat makan.”
Baca Juga: Jadwal Akses PayPal Sementara Usai Diblokir Kominfo, Pemilik Akun PayPal Wajib Cek Ini
“Sejak dahulu sebenarnya para ortu juga punya kesadaran bahwa pensidikanpenting. Hanya memang keadaan membuat mereka menerima saja apapun hasil pendidikan anaknya. Kebutuhan dasar, bisa baca rulis tercapai.”
“Periode kedua pemerintahan Pak Harto perubahan dimulai. Kuncinya adalah membuka seluas mungkin sekolah kegurun sperti SPG, PGA, SGO dll. Kemudian di semua kampus negeri dibuka fakultas keguruan, bahkan ada diploma keguruan. Bukan hanya IKIP.”
“Ratusan ribu anak petani diterima kuliah di fak keguruan dgn berbagai jurusan. Mereka dicetak menjadi guru berbagai macam mata pelajaran. Teknik mengajar yg diutamakan. Kontennya urusan berikutnya. Lulus langsung “mengabdi” di SD Inpres, dan sekolah negeri smp/sma.”
“Lama2 ada perbaikan kehidupan ekonomi. Perut sudah tidak lapar lagi. Anak2 yg lahir di th 80 an, orang tua mereka tidak mau lagi anaknya asal sekolah. Tidak mau asal masuk pesantren. Merek mencari sekolah yg dianggap “bermutu”.”
“Saat itulah perubahan filosofi dan konsep pengelolaan lembaga pendidikan. Ortu juga berubah, tidak takut lagi anaknya kelaparan. Orang tua lebih takut kalau anaknya kelak menjadi orang bosoh seperti generasiterdahulu. Urbanisasi besar terjadi ke kota2 pelajar.”
Baca Juga: Jadwal SIM Keliling Kota dan Kabupaten Bogor 1-6 Agustus
“Pelan tapi pasti, akhirnya lembaga pendidikan berubah konsep menjadi industri. Ketakutan para ortu akan masa depan anaknya, takut anaknya bodoh, menjadi pasar yg sangat besar bagi pengelola pendidikan. Normal saja sih.”
“Belakangan, di akhir tahun 90 an, perubahan ini menimbulkan masalah baru. Anak2 petani yg dahulu kuliah di IKIP dan fak keguruan di berbagai kampus, saat itu sdh menjadi gueu di sekolah2 hebat, swasta maupun negeri. Drama mulai terjadi.”
“Sekolah2 hebat itu menampung anak2 kelas menengah baru yang ortunya berpendidikan bagus dan berpendapatan tinggi. Mereka adalah kaum pedagang yg hidup di perkotaan dan memiliki akses indormasi dan teknologi.”
“Guru di sekolah2 hebat itu anak petani miskin, kuliahnya lebih mengutamakan teknik dan metodologi pengajaran. Berhadapan dgn anak kelas menengah baru yg berani mengekspresikan pikiran dan lebih cepat mendapat akses informasi karena kemajuan teknologi. Terjadi gagap kultural.”
“Di banyak sekolah swasta, kondisi ini menjadi lebih parah karena para orang tua murid yang “merasa” lebih pandai dan punya uang sering mengintervensi kemandirian guru. Minderlah gurunya hahahah. Orang kaya selalu menang opini.”
“10 tahun terakhir, gur sekolah yg dipeoduksi zaman Pak Harto mulai banyak yg pensiun. Guru generasi baru membawa warna baru. Umumnya mereka tidak dari IKIP/fak keguruan. Mereka kuat di konten mata pelajaran, lemah di metodologi pengajaran. Juga akhlak hahaha. Zaman berubah.”