SEWAKTU.com - Tumpeng adalah salah satu hidangan ikonik yang menjadi simbol perayaan dalam budaya Indonesia. Disajikan dalam bentuk kerucut dengan nasi kuning di bagian tengah dan dikelilingi oleh berbagai lauk-pauk.
Tumpeng tidak hanya mencerminkan kekayaan kuliner Nusantara, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai filosofi dan makna yang mendalam.
Hidangan ini biasanya dihadirkan dalam berbagai acara penting, mulai dari syukuran, ulang tahun, hingga perayaan hari-hari besar.
Untuk lebih memahami warisan kuliner ini, mari kita telusuri sejarah dan filosofi yang terkandung di balik tumpeng, serta bagaimana ia menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Indonesia.
Sejarah Tumpeng: Dari Tradisi Kepercayaan ke Pangan Nasional
Tumpeng memiliki akar sejarah yang panjang, dan asal-usulnya dapat ditelusuri hingga ke tradisi masyarakat Jawa dan Bali yang memiliki kepercayaan terhadap kekuatan alam dan gunung.
Dalam budaya agraris masyarakat Jawa kuno, gunung dipandang sebagai tempat tinggal para dewa dan roh leluhur yang dianggap sakral.
Bentuk tumpeng yang menyerupai gunung mencerminkan penghormatan terhadap alam, khususnya gunung, sebagai simbol kekuatan dan perlindungan.
Seiring dengan masuknya agama Hindu dan Buddha di Indonesia, bentuk tumpeng juga dipengaruhi oleh konsep gunung sebagai simbol spiritual dalam agama-agama tersebut.
Bahkan ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, tumpeng tetap dipertahankan dalam tradisi masyarakat Jawa, meskipun makna dan filosofinya disesuaikan dengan nilai-nilai keislaman.
Tumpeng kemudian menjadi bagian dari acara-acara syukuran yang disebut slametan, yang merupakan tradisi berkumpul untuk memohon keselamatan dan berkah.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tumpeng semakin dikenal luas dan ditetapkan sebagai simbol resmi perayaan hari kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1945, tumpeng dihidangkan dalam perayaan kemerdekaan pertama Indonesia dan sejak itu menjadi makanan simbolis yang dihadirkan dalam berbagai perayaan nasional.
Filosofi di Balik Bentuk dan Komponen Tumpeng