Fenomena ini sejatinya mirip dengan tren di negara lain. Di Tiongkok ada 'window shopping economy', di Jepang ada burabura shopping, dan di Amerika istilah “just browsing” cukup populer. Bedanya, di Indonesia tren ini lebih erat kaitannya dengan daya beli yang sedang menurun.
Fenomena Rohana dan Rojali adalah potret unik masyarakat Indonesia di tengah tekanan ekonomi. Ia sekaligus menjadi cermin bahwa meski ruang publik tetap ramai, konsumsi nyata belum tentu sehat.
Dengan kebijakan yang tepat dan kreativitas dari pelaku usaha, tren ini bisa diubah dari sekadar “lihat-lihat” menjadi transaksi nyata yang kembali menggerakkan roda ekonomi.***
Artikel Terkait
Siapa Paling Kaya? Ini Daftar Harta Kekayaan Cucu dan Cicit Bung Karno yang Jadi Anggota DPR
Pernah Diterpa Isu Pinjol, Komedian Bedu Kini Ajukan Cerai Setelah 15 Tahun Bangun Rumah Tangga
Jengkel dengan Jaksa Saat Persidangan, Nikita Mirzani Cengengesan dan Joget Velocity di Ruang Sidang
Siapa Anak Soeharto Terkaya? Adu Harta Keluarga Cendana, Titiek Bukan yang Teratas
Fenomena Rohana-Rojali, Kenapa Orang Indonesia Hanya 'Window Shopping'?
Tren Rohana & Rojali: Saat Belanja Jadi Sekadar Hiburan atau Gaya Hidup Baru?
Cerita di Balik Fenomena Rohana dan Rojali di Mall Indonesia, Mall Ramai tapi Kantong Sepi