SEWAKTU.com – Setiap 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Namun peringatan tahun ini membawa makna yang lebih mendesak.
Bukan hanya mengenang lahirnya UUPA 1960, tapi juga menyoroti tantangan baru yang dihadapi petani ialah alih fungsi lahan, krisis regenerasi, dan ancaman pangan global.
Hari Tani dan Sejarah Agraria
Hari Tani Nasional ditetapkan lewat Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963 oleh Presiden Soekarno. Tanggal 24 September dipilih karena bertepatan dengan lahirnya UUPA 1960 yang menegaskan prinsip keadilan agraria: tanah harus digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Baca Juga: Menggali Makna Hari Tani Nasional 24 September 2025, Refleksi dan Harapan untuk Petani Muda
Semangat itu relevan sampai hari ini, terutama ketika akses tanah semakin terancam oleh pesatnya pembangunan industri dan perumahan.
Ancaman Nyata: Alih Fungsi Lahan
Menurut data BPS, Indonesia kehilangan ratusan ribu hektar lahan sawah setiap tahunnya karena beralih fungsi. Akibatnya, kapasitas produksi pangan menurun, sementara jumlah penduduk terus bertambah.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: jika sawah habis, siapa yang akan memberi makan bangsa?
Regenerasi Petani: Harapan atau Ancaman?
Tantangan lain adalah minimnya regenerasi. Banyak anak muda memilih pekerjaan lain karena bertani dianggap kurang menjanjikan. Data menunjukkan, rata-rata usia petani di Indonesia kini sudah di atas 45 tahun.
Namun, di sisi lain, muncul gerakan petani milenial yang mencoba mengubah wajah pertanian dengan teknologi: dari pertanian organik, smart farming, hingga agritech berbasis digital.
Baca Juga: Mengapa 24 September Jadi Hari Tani Nasional? Simak Sejarah dan Makna Lahirnya UUPA 1960
Hari Tani Nasional 2025: Momentum Refleksi