Fenomena ini sejatinya mirip dengan tren di negara lain. Di Tiongkok ada 'window shopping economy', di Jepang ada burabura shopping, dan di Amerika istilah “just browsing” cukup populer. Bedanya, di Indonesia tren ini lebih erat kaitannya dengan daya beli yang sedang menurun.
Fenomena Rohana dan Rojali adalah potret unik masyarakat Indonesia di tengah tekanan ekonomi. Ia sekaligus menjadi cermin bahwa meski ruang publik tetap ramai, konsumsi nyata belum tentu sehat.
Dengan kebijakan yang tepat dan kreativitas dari pelaku usaha, tren ini bisa diubah dari sekadar “lihat-lihat” menjadi transaksi nyata yang kembali menggerakkan roda ekonomi.***