SEWAKTU.com - Cerita memilukan datang dari sebuah desa di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel), Sumatera Utara. Seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berusia 14 tahun, Mutiara, harus mengubur cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan karena terus-menerus ditagih utang biaya rekreasi sekolah sebesar Rp350.000. Ironisnya, kegiatan jalan-jalan itu tak pernah ia ikuti.
Kisah Mutiara menyebar luas dan memicu gelombang empati publik setelah diunggah oleh akun X @sutanmangara pada Senin (21/7/2025). Dalam unggahan tersebut, disorot bagaimana tekanan psikis akibat tagihan utang membuat Mutiara merasa malu di depan teman-temannya hingga memilih berhenti sekolah.
"PUTUS SEKOLAH! Karena tak tahan ditagih hutang Dana Rekreasi!" tulis akun tersebut, menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang dialami siswi tersebut.
Dalam video yang beredar, Mutiara tampak menahan tangis saat menceritakan beban mental yang dirasakannya. Hidup bersama ibu angkat dalam keterbatasan ekonomi, ia tak mampu membayar biaya rekreasi yang bahkan tidak ia nikmati.
“Saya malu terhadap teman-teman sekolah, Pak. Setiap hari ditagih utang Rp350.000, padahal saya tidak ikut jalan-jalan itu,” keluh Mutiara dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca.
Harapan Mutiara untuk kembali belajar masih sangat besar. Namun hingga kini, tak ada perwakilan sekolah yang datang ke rumahnya untuk membantu mencari solusi. Ia merasa dipinggirkan, meski semangat belajarnya belum padam.
“Saya masih ingin sekolah, Pak. Meskipun orang tua saya tidak mampu, saya punya cita-cita besar,” ucapnya penuh harap.
Ketika dimintai tanggapan, salah satu pihak sekolah, Abdul Siregar, membenarkan adanya kebijakan penagihan biaya rekreasi kepada seluruh siswa, tanpa melihat apakah mereka ikut atau tidak. Ia menyebut bahwa pembebanan biaya itu merupakan hasil kesepakatan internal demi menutupi ongkos sewa bus.
“Semua siswa yang terdata dikenai biaya secara merata agar sewa bus bisa terpenuhi,” ujar Siregar.
Pernyataan itu sontak menyulut kritik publik. Banyak warganet yang menilai kebijakan tersebut tidak memiliki empati terhadap siswa dari keluarga tidak mampu. Unggahan tentang Mutiara dipenuhi komentar yang menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi pendidikan yang masih menyisakan ketimpangan sosial.
“Anak ini nggak ikut, tapi ditagih seperti penumpang. Ini bukan sistem pendidikan yang adil,” tulis seorang netizen. Yang lain menyindir dengan tajam, “Pejabat bilang kemiskinan menurun, padahal ada anak berhenti sekolah cuma karena Rp350 ribu. Apakah mata hati kita sudah tertutup?”
Kisah Mutiara menjadi pengingat bahwa di balik semangat belajar anak-anak bangsa, masih ada tembok tinggi bernama ketidakpekaan sistem. Publik berharap agar kasus ini menjadi bahan evaluasi serius bagi lembaga pendidikan agar lebih bijak dalam mengambil kebijakan, terutama yang menyangkut beban biaya siswa.
Artikel Terkait
DPRD dan Pemkot Bandung Setujui Perubahan APBD 2025, Rp309 Miliar Dialokasikan untuk Pendidikan dan Kesehatan
Sekda Ajat Tekankan Integritas dalam SPMB di Kabupaten Bogor, Pastikan Akses Pendidikan Bebas dari Praktik Curang
Anak Pemulung Gagal Masuk SMP Negeri, Kisah Keimita Pertanyakan Efektivitas Jalur Afirmasi
Wali Kota Farhan Buka MPLS 2025 di Bandung, Tekankan Pendidikan Bermakna dan Inklusif
SIAP-SIAP! Dana PIP 2025 Cair Mulai 17 Juli, Ini Syarat dan Cara Mengambil Bantuan Pendidikan Siswa SD, SMP, dan SMA