Reaksi Publik: Dari Kekaguman hingga Kritik
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana opini publik di era digital bergerak secepat algoritma. Dalam satu sisi, ada yang menganggap kisah Tarman dan Shela sebagai bentuk cinta tulus tanpa batas usia.
Namun di sisi lain, muncul kritik soal ketimpangan relasi kuasa — bagaimana perbedaan usia dan ekonomi bisa menciptakan persepsi timpang dalam hubungan.
Komentar publik menggambarkan dua kutub:
“Kalau sudah cinta, umur cuma angka,” tulis seorang pengguna TikTok.
“Mahar 3 miliar itu bukti uang bisa membeli segalanya,” sindir yang lain.
Menimbang dari Sisi Budaya dan Agama
Dalam konteks budaya Indonesia, pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu, tetapi juga dua keluarga dan dua sistem nilai. Usia, ekonomi, dan restu sosial sering menjadi pertimbangan besar.
Namun agama memberi ruang selama syarat sah terpenuhi sebagaimana ditegaskan pemerintah desa, pernikahan ini sah secara agama dan negara.
Fenomena seperti ini membuka diskusi tentang batas modernitas dan tradisi. Di satu sisi, masyarakat semakin terbuka terhadap kebebasan memilih pasangan. Di sisi lain, nilai-nilai sosial masih menempatkan kesetaraan usia dan ekonomi sebagai simbol 'ideal' sebuah pernikahan.
Makna Mahar dalam Perspektif Sosial
Mahar Rp 3 miliar yang disebut dalam prosesi itu menjadi simbol baru dalam diskursus sosial.
Angka fantastis tersebut memunculkan pertanyaan, apakah mahar masih sekadar “simbol penghargaan”, atau sudah menjadi “tolak ukur nilai” dalam masyarakat modern?
Sosiolog menilai, fenomena seperti ini sering kali mencerminkan perubahan pola pikir masyarakat yang semakin materialistis, di mana nilai cinta kadang diukur dari nominal. Namun tak sedikit pula yang beranggapan, mahar besar bisa jadi bentuk tanggung jawab dan penghormatan.***