SEWAKTU.COM -- “Alladzi 'allama bil-qalam…” (QS. Al-‘Alaq: 4) – Allah mengajarkan manusia dengan pena. Ayat ini menjadi dasar betapa pentingnya menulis dalam kehidupan, bukan sekadar untuk mencatat ilmu, tetapi juga sebagai cara meninggalkan warisan intelektual yang abadi.
Dalam kehidupan, setiap orang dihadapkan pada pilihan: hidup sekadar menjalani rutinitas atau meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi generasi berikutnya. Salah satu cara paling kuat untuk menciptakan legasi adalah dengan menulis. Catatan kecil hari ini bisa menjadi ilmu besar esok hari. Bahkan setelah seseorang tiada, tulisannya bisa terus hidup dan menginspirasi – seperti karya-karya Imam Syafi’i yang masih dipelajari hingga kini, meski beliau hidup ratusan tahun lalu.
Baca Juga: Sinopsis Wednesday Season 2 Tayang di Netflix, Teror Baru Semakin Hantui Jenna Ortega
Menulis bukan semata-mata soal hobi, tapi tentang mengikat ilmu. Menghafal bisa hilang, namun yang tertulis akan lebih melekat. Maka, biasakan mencatat saat belajar. Kumpulan catatan bisa dirumuskan dan diruntutkan menjadi karya yang bernilai, bahkan dikenang lintas generasi.
Namun, warisan tidak hanya berupa tulisan. Inovasi, kebijakan, dan kreativitas yang dituliskan juga bisa menjadi legasi. Jadikan profesi kita – baik di birokrasi, bisnis, maupun pendidikan – sebagai jalan untuk meninggalkan jejak yang positif. Misalnya, menuliskan pengalaman kerja atau proses pembuatan kebijakan agar kelak bisa dibaca dan dipelajari anak-cucu.
Untuk terus menghasilkan karya, seseorang perlu berinovasi dan menggali ilmu baru. Ada dua kunci utama dalam menemukan ilmu: pertama, mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah. Dalam Al-Qur’an, sebutan tertinggi bagi para Nabi bukan hanya "nabi" atau "rasul", tapi “abdun” (hamba). Derajat ini diberikan kepada mereka yang paling taat, dan ketika seorang hamba taat, Allah akan meninggikan derajatnya dan membuka jalan ilmu baru.
Kedua, mengikuti petunjuk Nabi. Baik dalam hal belajar, berbisnis, atau berpolitik, meneladani Nabi akan membuka pintu hikmah. Dalam QS. Al-Baqarah: 151, dijelaskan bahwa Allah mengutus Rasul untuk membacakan ayat, menyucikan jiwa, dan mengajarkan ilmu – bahkan ilmu yang sebelumnya tidak diketahui. Contoh nyatanya terlihat pada tokoh-tokoh seperti Abdurrahman bin Auf di bidang bisnis atau Khalid bin Walid dalam militer, yang mampu melampaui zamannya karena terus menciptakan hal baru dan mengikuti nilai-nilai kenabian.
Baca Juga: Akhirnya! Kang RK Jalani Tes DNA Anak Lisa Mariana, Hasilnya...
Namun, ketika seseorang mencapai kesuksesan, baik sebagai ulama, pejabat, pebisnis, atau tokoh militer, ada satu peringatan penting: jangan sombong. Dalam QS. Al-‘Alaq ayat 6-8, disebutkan bahwa manusia cenderung melampaui batas saat merasa cukup. Peningkatan status dan harta sering kali mengubah karakter seseorang. Dulu saat punya sepuluh ribu, mudah berbagi. Tapi saat punya miliaran, belum tentu sikap itu tetap sama. Itu sebabnya, penting untuk menjaga sikap rendah hati dan tidak berlebihan.
Akhirnya, warisan terbaik bukanlah harta, melainkan ilmu, nilai, dan karya yang terus memberi manfaat. Menulislah, berinovasilah, dan tetap dekat dengan Allah – agar nama kita tak hanya dikenang, tapi juga membawa manfaat hingga setelah kita tiada.
Artikel Terkait
Menurut Ilmu Psikologi, 6 Trik Bahasa Tubuh Ini Bisa Membuat Kamu Langsung Disukai Orang Lain
Menurut Ilmu Psikologi, Ini 5 Tanda-tanda Pria Sedang Berbohong Dilihat dari Bahasa Tubuh
Perdebatan Kedudukan Politik Hukum: Antara Disiplin Hukum atau Ilmu Sosial?
Ontologi Politik Hukum: Menelaah Objek Kajian Pengetahuan sebagai Ilmu yang Otonom
Aksiologi Politik Hukum: Menakar Manfaat Praktis Ilmu untuk Pembaruan Hukum Nasional