Kenapa Rohana-Rojali Viral di Media Sosial? Begini Penjelasan Psikologi Sosialnya

- Kamis, 25 September 2025 | 19:58 WIB
Fenomena Rohana & Rojali: Mall meriah, tapi kantong pedagang tetap sepi. Foto: Ilustrasi shooping.
Fenomena Rohana & Rojali: Mall meriah, tapi kantong pedagang tetap sepi. Foto: Ilustrasi shooping.

Tekanan ekonomi membuat orang lebih selektif. Namun, agar tidak merasa “tertinggal”, mereka tetap hadir di ruang sosial (mall), meski tanpa membeli.

Baca Juga: Cerita di Balik Fenomena Rohana dan Rojali di Mall Indonesia, Mall Ramai tapi Kantong Sepi

Kisah Nyata dari Pengunjung

"Kadang cuma beli minum Rp20 ribu, tapi foto-fotonya bisa buat konten seminggu. Itu udah cukup,” ujar Rafi, yang merupakan seorang mahasiswa di Bekasi.

Sementara , ibu muda, mengatakan:

"Anak-anak senang kalau diajak jalan-jalan. Belanja bisa ditunda, tapi kebersamaan keluarga nggak bisa,” ungkap Fitri.

Baca Juga: Tren Rohana & Rojali: Saat Belanja Jadi Sekadar Hiburan atau Gaya Hidup Baru?

Fenomena Serupa di Negara Lain

Tren serupa ternyata juga muncul di negara lain.

  • Di Jepang, burabura shopping menggambarkan orang yang suka jalan-jalan di pusat perbelanjaan tanpa niat membeli.
  • Di Korea Selatan, banyak remaja datang ke mall hanya untuk menikmati suasana atau mencoba makanan viral.
  • Di Amerika Serikat, window shopping bahkan dianggap hobi tersendiri bagi sebagian orang.

Baca Juga: Fenomena Rohana-Rojali, Kenapa Orang Indonesia Hanya 'Window Shopping'?

Bukan Sekadar Lelucon, Tapi Cermin Zaman

Fenomena Rohana dan Rojali adalah cermin perubahan zaman. Belanja kini bukan hanya tentang barang, tapi juga tentang pengalaman sosial, identitas, dan hiburan.

Masyarakat tetap ingin hadir di ruang sosial meski kantong sedang ketat. Ini menandakan bahwa manusia tidak hidup dari konsumsi barang semata, tapi juga dari interaksi dan pengalaman.

Rohana dan Rojali adalah simbol menarik dari persilangan antara budaya, psikologi sosial, dan ekonomi. Mereka menunjukkan bahwa mall kini bukan lagi sekadar tempat transaksi, tapi juga ruang budaya, rekreasi, dan ekspresi diri.

Mungkin bagi pedagang ini jadi tantangan, namun bagi sosiolog dan psikolog, fenomena ini justru kaya makna: manusia tetap butuh ruang untuk merasa hadir, meski tanpa belanja besar.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Mahmud Amsori

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X