Bank Indonesia mencatat pertumbuhan konsumsi barang non-esensial seperti fashion dan kosmetik melambat tajam. Artinya, masyarakat lebih banyak mengalokasikan uang untuk kebutuhan pokok, sementara belanja sekunder ditunda.
Bukan Hanya Masalah Uang
Fenomena Rohana dan Rojali juga punya sisi sosial. Mall tetap jadi ruang publik penting, terutama bagi anak muda.
Bagi generasi Z, pergi ke mall bukan soal belanja, tapi soal eksistensi. Foto di depan brand ternama, mencoba makeup baru, atau sekadar “nongkrong estetik” sudah cukup memberi kepuasan sosial tanpa harus menguras dompet.
Baca Juga: Jengkel dengan Jaksa Saat Persidangan, Nikita Mirzani Cengengesan dan Joget Velocity di Ruang Sidang
Tren Global
Fenomena ini ternyata bukan hanya milik Indonesia. Di Amerika, survei McKinsey menunjukkan lebih dari 40% pengunjung mall datang hanya untuk 'killing time'. Di Jepang, istilah burabura shopping juga merujuk pada kebiasaan serupa: jalan-jalan tanpa tujuan belanja jelas.
Bedanya, di Indonesia fenomena ini lebih kental dengan nuansa ekonomi, karena daya beli masyarakat memang sedang tertekan.
Fenomena Rohana dan Rojali adalah cermin sosial-ekonomi kita hari ini. Mall tetap ramai, tapi kantong pedagang menjerit. Bagi pengunjung, mall bukan lagi tempat berbelanja, melainkan ruang hiburan murah.
Kisah ini sekaligus jadi alarm bagi pemerintah untuk menjaga daya beli rakyat. Sebab jika tren ini terus berlangsung, roda ekonomi bisa berjalan lambat meski wajah mall tampak tetap semarak.***