SEWAKTU.com – Di era digital, istilah baru sering lahir dari media sosial. Salah satunya adalah Rohana dan Rojali.
Dua singkatan yang awalnya terdengar lucu kini viral karena dianggap mewakili kenyataan masyarakat Indonesia yakni gemar jalan-jalan ke mall, tapi jarang benar-benar berbelanja.
Bukan hanya sekadar fenomena ekonomi, Rohana (rombongan hanya nanya-nanya) dan Rojali (rombongan jarang beli) juga mencerminkan aspek budaya dan psikologi sosial yang unik.
Baca Juga: Kenapa Fenomena Rohana & Rojali Bisa Jadi Masalah Ekonomi Serius? Simak Penjelasan Lengkapnya Disini
Budaya Nongkrong ala Indonesia
Sejak lama, nongkrong sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Dari warung kopi, alun-alun kota, hingga mall modern, kebersamaan selalu lebih penting dibanding aktivitas utamanya.
Fenomena Rohana dan Rojali adalah bentuk modern dari budaya tersebut. Mall dijadikan ruang sosial seperti tempat bertemu teman, foto untuk media sosial, atau sekadar menghabiskan waktu bersama keluarga. Belanja jadi aktivitas sekunder, bahkan bisa ditunda.
Psikologi Sosial di Balik Fenomena Rohana-Rojali
Beberapa alasan psikologis yang membuat fenomena ini terjadi:
1. Kebutuhan Eksistensi
Generasi muda datang ke mall bukan untuk belanja, melainkan untuk eksis. Foto di depan toko branded lalu diunggah ke Instagram sudah memberi kepuasan sosial.
2. Hedonic Browsing
Psikolog menyebut aktivitas “cuci mata” atau melihat-lihat barang tanpa membeli sebagai bentuk hedonic browsing. Aktivitas ini bisa meningkatkan mood, meskipun tidak ada transaksi.
3. Efek Sosial Ekonomi