Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menegaskan bahwa kerusakan akibat hujan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan.
"Banjir bukan hanya soal hujan. Ini tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola permukaan bumi,” ujar Heri.
Ia menjelaskan:
- Hutan punya kemampuan infiltrasi tinggi.
- Ketika berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka → kemampuan menyerap air hilang.
- Dampaknya: air hujan langsung berlari menuju sungai dalam waktu singkat, memicu banjir bandang.
Heri juga menilai bahwa peta bahaya banjir di Indonesia belum sepenuhnya akurat karena keterbatasan data geospasial dan pemodelan yang belum komprehensif.
Padahal, perencanaan tata ruang berbasis risiko seharusnya menjadi fondasi mitigasi bencana.
Selain hilangnya resapan, wilayah hilir juga mengalami penurunan kapasitas tampung. Banyak sungai makin dangkal akibat sedimentasi, drainase tidak memadai, dan ruang air berkurang karena pembangunan.
Kombinasi antara air hujan ekstrem dari atmosfer aktif, limpasan besar dari hulu, dan daya tampung lingkungan yang menurun menciptakan banjir bandang yang sulit dibendung.
Baca Juga: Benarkah Gaji Pensiunan Naik 2025? Taspen Angkat Suara Begini
Para pakar ITB menekankan bahwa mitigasi banjir harus dilakukan secara terintegrasi, tidak hanya membangun bangunan fisik.
Mitigasi Struktural
Langkah teknis berupa:
- pembangunan tanggul,
- normalisasi sungai,
- kolam retensi,
- peningkatan kapasitas drainase.
Mitigasi Non-Struktural
Upaya berbasis tata kelola:
- Perencanaan tata ruang berbasis risiko
- Pemulihan dan konservasi daerah penahan air
- Peningkatan literasi kebencanaan
- Sistem peringatan dini yang mudah dipahami warga
"Prediksi cuaca harus diterjemahkan menjadi informasi praktis, bukan sekadar data teknis,” tegas Rais.
Baca Juga: Fakta Isu Kenaikan Gaji Pensiunan 2025, Masyarakat Diminta Jangan Terkecoh!