SEWAKTU.COM – Tujuan utama pembentukan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Hal ini dilakukan dengan menjamin tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan pokok (dharûriyyah), kebutuhan sekunder (hâjiyyah), serta kebutuhan pelengkap (tahsîniyyah), sebagaimana dijelaskan dalam konsep Maqashid Syariah.
Dalam wacana hukum Islam, kebutuhan primer disebut dharûriyyah, kebutuhan sekunder disebut hâjiyyah, dan kebutuhan tersier dikenal dengan tahsîniyyah.
Pemahaman terhadap ketiganya sangat penting agar umat Islam dapat memahami dengan baik maksud syariat yang dibawa oleh Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Mengutip buku Panorama Maqashid Syariah karya Dr. Sutisna dkk., syariat Islam tidak diturunkan tanpa alasan. Setiap perintah membawa kemaslahatan, dan setiap larangan bertujuan untuk mencegah kerusakan atau mudharat.
Baca Juga: Ontologi Politik Hukum: Menelaah Objek Kajian Pengetahuan sebagai Ilmu yang Otonom
Pemahaman ini menjadi dasar penting dalam ilmu Maqashid Syariah yang sudah berkembang sejak awal turunnya wahyu dan kini menjadi bagian penting dalam studi hukum Islam.
Maqashid Syariah bukan hanya konsep teoritis, melainkan juga menjadi pendekatan praktis dalam perumusan hukum yang responsif terhadap kebutuhan zaman.
Banyak ulama kontemporer menekankan pentingnya pendekatan maqashid dalam menjawab tantangan modern seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, ekonomi berkeadilan, hingga pelestarian lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan dapat terus dikontekstualisasikan sesuai zaman tanpa kehilangan esensinya.
Baca Juga: Lima Prinsip Dasar Hukum Islam: Dari Tauhid hingga Tolong-Menolong
Menurut Dr. Rohidin dalam buku Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia sampai Indonesia, para ahli hukum Islam telah mengklasifikasikan tujuan-tujuan hukum Islam ke dalam tiga kategori utama:
- Dharûriyyah (Primer)
Merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka kehidupan sosial dan ketertiban umum akan terganggu. Lima elemen utama dalam kategori ini dikenal sebagai al-maqâshid al-khamsah, yaitu: - Memelihara agama (hifdz ad-din),
- Memelihara jiwa (hifdz an-nafs),
- Memelihara akal (hifdz al-‘aql),
- Memelihara keturunan (hifdz an-nasl), dan
- Memelihara harta (hifdz al-mâl).
- Hâjiyyah (Sekunder)
Bertujuan memudahkan umat dalam menjalankan kewajiban agama, serta menghindarkan mereka dari kesulitan yang tidak perlu. Contohnya adalah keringanan dalam pelaksanaan salat seperti jamak dan qashar bagi musafir. Ketentuan seperti ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam memberikan kemudahan sesuai kondisi. - Tahsîniyyah (Tersier)
Fokus pada aspek penyempurnaan dan keindahan hidup. Tahsîniyyah mencakup nilai-nilai kebajikan, akhlak yang mulia, dan kebersihan lahir batin. Meski tidak berpengaruh langsung terhadap ketertiban umum jika ditinggalkan, namun keberadaannya memperkuat kualitas moral umat. Contoh nyata adalah perintah menutup aurat, menjaga kebersihan, serta berperilaku ramah terhadap sesama makhluk hidup.
Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
Bahkan dalam hadis disebutkan, seseorang bisa masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan, atau sebaliknya, bisa masuk neraka karena menelantarkan seekor kucing.
Baca Juga: Mengenal Hukum Islam: Etimologi, Terminologi dan Makna Filosofis