Urgensi pada ASN dalam Menjaga Lingkungan Berbasis Ekoteologi Melalui Zero Waste Lifestyle

- Jumat, 22 Agustus 2025 | 16:16 WIB
Ilustrasi - Sampah yang sudah terurai menjadi kompos tanaman. (Foto: Pixabay/congerdesign)
Ilustrasi - Sampah yang sudah terurai menjadi kompos tanaman. (Foto: Pixabay/congerdesign)

SEWAKTU.COM - Krisis lingkungan yang terjadi setiap tahun selalu mengundang perhatian masyarakat. Akar permasalahan tersebut disebabkan karena penebangan hutan secara liar, meningkatnya emisi gas rumah kaca, termasuk juga terkait produksi sampah yang semakin meningkat.

serupa data yang dirilis oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa timbulan sampah pada tahun 2024, ada 33,79 juta ton. Adapun data tersebut berasal dari 311 kota dan kabupaten (Databoks.id, 2025). Apalagi sekarang Indonesia sudah memiliki 514 kabupaten dan kota. Tentu saja produksi sampah akan terus membludak, sehingga memerlukan upaya penanggulangan yang berkelanjutan.

Baca Juga: Macam-macam Sighat Akad dalam Muamalah, Berikut Penjelasannya

Meningkatnya jumlah timbulan sampah, secara jelas tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup masyarakat, termasuk dalam hal ini para Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, gaya hidup yang cenderung konsumtif dan instan, akan menyebabkan ritme produksi sampah semakin cepat.

Bagi ASN yang kesehariannya di kantor, maka akan sulit membicarakan aktivitas kerja tanpa bersinggungan dengan kertas. Sedangkan menurut data yang dihimpun SIPSN, sampah kertas/karton telah mencapai sebanyak 11,16% dari jumlah timbulan sampah pada tahun 2024 (Databoks.id, 2025). Memang data ini akan terus berubah seiring berjalannya waktu. Namun, sampah akan sampai kapan pun ini terus diproduksi, tanpa dibarengi dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Oleh karena itu, ASN bisa mengawali gaya hidup minim sampah, minimal dari dirinya sendiri.

Sedangkan sampah dengan varian jenisnya, baik yang organik (basah) maupun anorganik (kering) telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Meskipun sudah terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA), namun peningkatan jumlah sampah terjadi karena mengikuti deret ukur, sedangkan lahan di TPA berpatokan pada deret hitung (Widiarti, 2012).

Ketimpangan ini mengakibatkan lahan di TPA tidak mampu lagi memuat sampah yang datangnya, sehingga berdampak pada lingkugan sekitar. Misalnya, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Bekasi. Kondisi masyarakat setempat mengalami pencemaran yang disebabkan oleh limbah cair sampah, sehingga berpotensi mengontaminasi sumur rumahnya (Khansa et al., 2024).

Padahal sampah bukan sekedar barang kotor yang segera dihilangkan dari lingkungan sekitar. Tetapi bisa dimanfaatkan kembali, sehingga mempunyai nilai ekonomis dan digunakan untuk menyuburkan tanaman. Pengeloaan sampah yang baik dan tersistem akan membantu ikut mengurangi daya tampung pada TPA.

Menggerakkan kerja pengelolaan tersebut, tentu tidak hanya tugas pemerintah, komunitas lingkungan, dan pemuka agama melainkan juga para ASN. Kepedulian terhadap lingkungan memang suatu hal yang sakral dalam kehidupan di muka bumi ini. Apabila kelestarian alam tidak dijaga, maka sama halnya manusia tidak menghargai pencipta-Nya.

Oleh karena itu, perlunya prinsip nilai-nilai keagamaan sebagai dasar untuk merawat alam agar tetap sadar dalam beraktivitas, terutama di lingkungan sekitar. Prinsip yang tetap menghubungkan keberadaan tuhan, manusia dan alam.

Baca Juga: Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam

Ekoteologi sebagai Dasar Ibadah Ramah Lingkungan

Kehadiran agama pada manusia sering kali hanya dijadikan panduan dalam ibadah seremonial. Padahal nilai-nilai agama selain mengamanatkan untuk menyembah Tuhan, juga memberi pesan moral pada manusia agar menjaga alam. Senada dengan hal itu, ekoteologi hadir untuk menghubungkan manusia dengan alam melalui pendekatan agama, sehingga menjadi integral. Dampaknya aktivitas manusia bisa semakin ramah terhadap lingkungan.

Menurut Sayyed Hossein Nasr, ekoteologi dipahami sebagai upaya manusia untuk menghadirkan Tuhan dalam segala aktivitas, khususnya saat berinteraksi dengan lingkungan. Sebab perilaku manusia selalu tidak terkendali, yang mana memposisikan alam sebagai bagian yang terpisah dari kehidupannya. Adanya perbuatan tersebut disebabkan karena manusia mengalami krisis spiritual (Rafly et al., 2022).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: M. Nur Fadli

Artikel Terkait

Terkini

Kiprah Kerja Nyata DPR dalam Mengawal Korban Mafia Tanah

Kamis, 25 September 2025 | 19:46 WIB

Pagar Nusa Resmi Berdiri di UIN KHAS Jember

Selasa, 9 September 2025 | 17:37 WIB

Mengenal Epistemologi Politik Hukum

Jumat, 4 Juli 2025 | 00:55 WIB
X