SEWAKTU.COM – Dalam sistem hukum Islam, akad tidak akan dianggap sah tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang menjadi fondasinya. Unsur-unsur tersebut dikenal sebagai rukun akad, yang menjadi syarat mutlak bagi keberlakuan dan keabsahan suatu perjanjian atau transaksi muamalah.
Secara bahasa, rukun berarti bagian yang kuat atau fondasi dari sesuatu, seperti pondasi dalam bangunan. Secara istilah, rukun adalah unsur yang membentuk eksistensi sesuatu secara internal. Dalam konteks ini, rukun akad adalah elemen dasar yang menyusun dan mewujudkan sebuah kesepakatan dalam syariah.
Baca Juga: Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam
Dalam kajian fikih, para ulama sepakat bahwa setidaknya terdapat tiga unsur penting dalam akad: pihak-pihak yang berakad (al-'aqidân), objek akad (mahall al-'aqd), dan lafaz atau pernyataan ijab kabul (sîghat al-'aqd). Namun, terdapat perbedaan pandangan mengenai status ketiganya sebagai rukun.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya terletak pada bentuk pernyataan akad (ijab dan kabul), sementara pihak-pihak dan objek akad dianggap sebagai akibat dari adanya pernyataan tersebut.
Sebaliknya, sebagian besar ulama (jumhur fuqaha) dari Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan bahwa ketiganya merupakan rukun yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada buku Akad Muamalah Klasik: Dari Konsep Fikih ke Produk Perbankan, karya Dr. H. Jamal Abdul Aziz, jumhur fuqaha menetapkan bahwa tiga rukun akad di antaranya:
1. Subyek Akad (al-'aqidân)
Subyek dapat berupa perorangan (perseroan) maupun badan hukum. Individu yang menjadi subyek akad harus memiliki kecakapan hukum (al-ahliyyah), yaitu kemampuan yang diakui syarak untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban.
Sementara itu, badan hukum bisa berupa perusahaan, yayasan, koperasi, atau lembaga keuangan syariah lainnya yang sah secara hukum. Pentingnya kecakapan ini menyangkut keabsahan transaksi, misalnya dalam kasus anak-anak, orang gila, atau orang yang berada di bawah pengampuan, maka akad yang mereka lakukan dianggap tidak sah.
2. Obyek Akad (mahall al-'aqd)
Obyek akad bisa berupa harta, jasa, atau manfaat tertentu. Dalam akad mu'awadhah (transaksi tukar-menukar), seperti jual beli atau sewa, terdapat dua hal yang ditransaksikan: barang dan ke integritas.
Sementara dalam akad tabarru' (akad rahmat, seperti hibah), hanya ada satu pihak yang memberikan barang atau manfaat. Syarat obyek akad antara lain: bernilai menurut hukum Islam, halal, suci, sudah ada pada saat akad berlangsung, serta jelas dan bentuknya spesifik. Ketidakjelasan objek akad dapat menyebabkan kondisi di kemudian hari.
3. Sighat Akad (Ijab dan Qabul)
Ijab kabul merupakan pernyataan kehendak kedua belah pihak untuk melakukan akad. Sighat ini dapat disampaikan melalui lisan, tulisan, isyarat, atau tindakan yang dipahami sebagai bentuk persetujuan bersama. Dalam konteks modern, perjanjian tertulis dan tanda tangan digital dapat dianggap sebagai bagian dari huhat, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Baca Juga: Asas Umum Hukum Islam: Dari Keadilan hingga Kebebasan
Rukun ketiga ini menjadi syarat sahnya suatu akad dalam Islam. Tanpa salah satunya, akad dianggap tidak sempurna dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang rukun akad menjadi penting, khususnya dalam praktik ekonomi syariah modern seperti perbankan, leasing, asuransi syariah, hingga transaksi digital.
Artikel Terkait
Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hukum Islam untuk Kemaslahatan Manusia dan Alam
Asas Umum Hukum Islam: Dari Keadilan hingga Kebebasan
Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam