Sewaktu.com – Dalam praktik muamalah atau interaksi ekonomi menurut hukum Islam, sighat akad memiliki peran sentral sebagai wujud kesepakatan antara pihak-pihak yang berakad. Sighat akad diartikan sebagai bentuk ungkapan kehendak yang dilakukan melalui ucapan, isyarat, atau tindakan yang menjadi dasar terbentuknya suatu akad.
Mengutip pada buku Akad Muamalah Klasik: Dari Konsep Fikih ke Produk Perbankan, karya Dr. H. Jamal Abdul Aziz. Berikut ini berbagai macam bentuk sighat akad yang diakui dalam fikih Islam:
1. Lisan: Ucapan yang Jelas dan Langsung
Sighat akad yang dilakukan dengan lisan merupakan bentuk paling umum dan klasik dalam transaksi. Syarat sahnya adalah penggunaan kata-kata yang jelas serta menunjukkan maksud pada objek yang dimaksudkan oleh masing-masing pihak. Ini mencakup ungkapan ijab dan kabul secara langsung.
Baca Juga: Memahami Rukun Akad dalam Muamalah: Pilar Sahnya Transaksi di Hukum Islam
2. Tulisan: Solusi dalam Ketidakhadiran Fisik
Tulisan dapat digunakan ketika pihak-pihak tidak bisa bertemu langsung. Berdasarkan kaidah fikih "tulisan sama seperti ucapan", sighat tulisan dianggap sah sejauh tulisannya tidak mengalami perubahan selama proses akad.
Bahkan jika kedua belah pihak hadir dan mampu berbicara, sighat tulisan tetap sah, kecuali dalam akad nikah yang mewajibkan pelafalan langsung.
3. Perbuatan: Praktik Jual Beli Tanpa Kata-kata
Contoh paling nyata sighat perbuatan adalah jual beli mu’âthâh, yaitu transaksi langsung tanpa ucapan—seperti menyerahkan barang dan menerima pembayaran. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) menyatakan sah bentuk ini dalam transaksi selain nikah, karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Namun, Mazhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai sighat sah karena tidak adanya lafaz yang jelas.
Baca Juga: Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam
4. Isyarat: Alternatif bagi Mereka yang Terbatas
Isyarat sebagai pengganti ucapan memiliki rincian tersendiri. Jika isyarat dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, mayoritas ulama menganggapnya tidak sah kecuali dalam kondisi darurat. Sebaliknya, Mazhab Maliki memperbolehkan jika isyaratnya dapat dipahami dengan jelas, kecuali untuk akad nikah.
Sedangkan bagi orang yang bisu dan tidak bisa membaca atau menulis, isyarat menjadi satu-satunya alat untuk menyampaikan kehendak, dan dianggap sah asalkan dapat dimengerti. Namun jika bisu tapi bisa membaca dan menulis, maka tulisan lebih diutamakan.
Baca Juga: Asas Umum Hukum Islam: Dari Keadilan hingga Kebebasan
5. Diam: Persetujuan yang Tersirat
Meskipun secara umum diam bukan indikator kehendak, dalam kondisi tertentu, diam bisa dipahami sebagai bentuk kerelaan.
Misalnya, jika seseorang menyatakan niat wakaf dan hadirin diam tanpa penolakan, atau seorang kreditur membebaskan utang dan debiturnya diam, maka diam tersebut bisa ditafsirkan sebagai bentuk persetujuan.
Dengan beragamnya bentuk sighat akad, hukum Islam menunjukkan fleksibilitas dalam menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan kemampuan para pihak, selama tetap menjunjung asas kejelasan dan kerelaan dalam bertransaksi.
Artikel Terkait
Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hukum Islam untuk Kemaslahatan Manusia dan Alam
Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam
Memahami Rukun Akad dalam Muamalah: Pilar Sahnya Transaksi di Hukum Islam