SEWAKTU.COM - Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam jajaran pemerintahan di Indonesia, bertugas untuk mewakili aspirasi rakyat. Keterwakilan tersebut dibangun sedari para anggota dewan mengakumulasi janji politiknya saat masa kampanye.
Tak pandang harus rakyat yang mana, jelasnya setiap aspirasi bisa digarap secara tuntas. Apalagi aspirasi tersebut muncul dari seorang lansia yang menjadi korban mafia tanah di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Tentu pertanggungjawaban DPR dari daerah pilihan (dapil) tersebut ditunggu kehadirannya. Sebab, suara rakyat saat masa pemilihan, bukan sekadar angka yang dapat ditukar dengan sembako. Tetapi, pemegang otoritas tertinggi, sehingga segala keterwakilannya bisa tersampaikan.
Keterkaitan dengan permasalahan tanah, pasti bersinggungan dengan aparat penegak hukum. Padahal sudah jelas, sebagaimana Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 33 ayat (3) bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun, meskipun bunyi konstitusi begitu, secara praktik di lapangan jauh lebih menyimpang, bahkan hingga terjadi konflik horizontal antar sesama masyarakat.
Tanah yang menjadi tempat masyarakat mempertahakan ruang hidup, justru dijadikan komoditas oleh mafia tanah. Tindakan kejahatan ini, saling bekerja sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perbuatan demikian, demi mengambil hak milik dan merebut tanah orang lain, dengan cara ilegal atau tindakan melawan hukum yang dilakukan secara terencana dan sistematis (Cahyaningrum, 2021).
Maka jangan heran, jika kasus mafia tanah masuk jenis kejahatan Extra Ordinary Crime, karena Hak Asasi Manusia (HAM) dari pemilik tanah telah dihilangkan (Wahyuni & Misrah, 2023).
Kepemilikan tanah bagi masyarakat memang begitu penting. Selain dapat diwariskan, juga mempunyai nilai jual yang tinggi. Tentu sangat disayangkan, apabila hak kepemilikannya telah diserobot oleh mafia tanah.
Adanya tindakan kejahatan ini, perlu strategi yang kooperatif untuk memberantasnya, agar korban bisa tertolong. Oleh karena itu, berbagai pihak dalam menyoroti kejahatan di bidang pertanahan dengan perhatian khusus.
Tidak hanya di lingkup masyarakat saja, melainkan hingga lembaga tertinggi negara, Presiden, dan DPR RI (Karlina & Putra, 2022). Hanya saja, dalam hal ini terutama DPR akan menjadi sorotan masyarakat, manakala tidak ikut serta mengawalnya. Terlebih korban dari kejahatan mafia tanah merupakan rakyat yang berada di daerah pilihannya.
Kerja-kerja DPR dalam menjalakan tugasnya tidak hanya tentang legislasi saja. Tetapi, DPR sebagai lembaga legislatif juga mempunyai fungsi pengawasan. Adanya pengawasan ini, berfungsi untuk mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar sesuai dengan aspirasi rakyat (Nazwa et al., 2025).
Apalagi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya telah dibantu oleh para menteri, sehingga keberlanjutan pengawasan tentu tidak berhenti di ruang sidang parlemen. DPR menindaklanjutinya dengan turun di lapangan, khususnya dalam hal ini mengawal korban mafia tanah.
Sebagaimana data yang dicatat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bahwa ada 48.000 kasus mafia tanah yang telah tertangani dari Januari hingga pertengahan November 2024 (kumparan.com, 2024).
Maraknya kasus mafia tanah, dipicu karena harga tanah di masyarakat melambung tinggi. Pelbagai modus pun dilancarkan untuk meraup keuntungan finansial. Tak peduli sanak saudara dan teman sejawat, selagi kepemilikan tanahnya bisa ditukar dengan uang, siapapun akan jadi korban.
Baca Juga: Mengenal Hukum Perdata di Indonesia