Memahami Akad dalam Muamalah: Fondasi Transaksi Hukum Islam

- Rabu, 16 Juli 2025 | 00:00 WIB
Ilustasi - Aktivitas Jual Beli dalam Islam.  (Foto: Pixabay/Thedigitalartist)
Ilustasi - Aktivitas Jual Beli dalam Islam. (Foto: Pixabay/Thedigitalartist)

SEWAKTU.COM – Dalam hukum Islam, istilah muamalah merujuk pada berbagai bentuk interaksi sosial dan transaksi bisnis yang memiliki dasar hukum syariah.

Kata muamalah berasal dari bahasa Arab mu'âmalah, turunan dari kata 'amal yang berarti tindakan atau aktivitas. Secara etimologis, muamalah bermakna hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dalam ranah sosial dan ekonomi, seperti bisnis dan transaksi.

Dalam konteks fikih, muamalah digunakan untuk menggambarkan aturan-aturan yang mengatur hubungan antar manusia, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Pada masa awal Islam, istilah ini lazim digunakan untuk menyebut aktivitas pengolahan tanah di wilayah Arab. Di Irak, dikenal istilah mu'âmalah, sementara di wilayah Hijaz lebih populer istilah musâqâh.

Baca Juga: Mengenal Maqashid Syariah: Tujuan Hukum Islam untuk Kemaslahatan Manusia dan Alam


Ahli hukum Islam klasik dan modern menilai, bahwa muamalah berkembang pesat dari sekadar kontrak penandatanganan tanah menjadi skema transaksi yang luas, termasuk upaya menghindari praktik riba.

Joseph Schacht mencatat bahwa di masa awal Madinah, istilah ini digunakan untuk menciptakan kontrak kredit yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, meskipun secara substansi mengandung unsur pinjam-meminjam.

Sementara itu, dalam sistem hukum Islam, istilah akad merujuk pada perikatan yang timbul dari ijab dan kabul. Secara bahasa, akad berasal dari kata al-'aqd yang berarti ikatan atau janji. Secara istilah, akad diartikan sebagai kesepakatan dua pihak yang sah menurut syara' dan menimbulkan konsekuensi hukum atas objek yang diperjanjikan.

Baca Juga: Mengenal Hukum Islam: Etimologi, Terminologi dan Makna Filosofis


Dalam praktiknya, akad harus melibatkan dua pihak—pemberi ijab dan penerima kabul. Oleh karena itu, janji satu pihak seperti wasiat atau hibah tidak tergolong akad karena tidak ada unsur perjanjian timbal balik.

Tujuan utama akad adalah menimbulkan akibat hukum yang mengharuskan adanya kemauan bersama para pihak yang terlibat.

Mengutip dari Buku AKAD MUAMALAH KLASIK: Dari Konsep Fikih ke Produk Perbankan, karya Dr. H. Jamal Abdul Aziz. Dalam terminologi fikih, hasil dari akad ini disebut hukm al-'aqd.

Akad dalam Islam terbagi menjadi dua kategori besar, yaitu akad bernama (al-'uqûd al-musammâh) yang jenis dan tujuan sudah ditentukan dalam syariat, dan akad tidak bernama (al-'uqûd ghayr al-musammâh) yang tujuan serta bentuknya ditentukan sendiri oleh pihak pihak.

Akad secara umum memiliki lima tujuan, yaitu:
1. Pemindahan milik (al-tamlîk) : baik dengan ke pembulatan (seperti jual beli) atau tanpa ke pembulatan (seperti hibah).
2. Melakukan pekerjaan (al-'amal) : seperti dalam akad muzâra'ah atau kerja sama pertanian.
3. Melakukan persekutuan (al-isytirâk) : seperti akad mudarabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pengelola.
4. Melakukan pendelegasian (al-tafwîd) : seperti akad wakâlah, yaitu perwakilan.
5. Melakukan penjaminan (al-tawsîq) : seperti akad kafâlah atau jaminan utang.

Baca Juga: Asas Umum Hukum Islam: Dari Keadilan hingga Kebebasan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: M. Nur Fadli

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kiprah Kerja Nyata DPR dalam Mengawal Korban Mafia Tanah

Kamis, 25 September 2025 | 19:46 WIB

Pagar Nusa Resmi Berdiri di UIN KHAS Jember

Selasa, 9 September 2025 | 17:37 WIB

Mengenal Epistemologi Politik Hukum

Jumat, 4 Juli 2025 | 00:55 WIB
X